Sabtu, 07 Juni 2008
URGENSITAS MENGENAL DIRI
A. KEWAJIBAN MENGENAL DIRI
Mengenal diri, dalam bahasa Arab dinamakan ma’rifat an-Nafs. Kata Nafs, kalau merujuk pada al-Quran dan al-Hadits atau literlatur Islam lainnya, akan didapat makna yang beragam. Dalam tulisan ini, keragaman makna akan diabaikan. Nafs, diartikan diri yang mengandung arti dua dimensi; lahiriah dan bathiniah, jasadiah dan ruhaniah, atau fisik dan mental. Diri adalah totalitas kepribadian manusia, dan hakekat diri adalah nafs itu sendiri.
Allah SWT. telah berfirman dalam Al-Quran (QS. 5 : 105) : “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk”. (Tarjamah Depag)
Frase ‘`alaikum anfusakum’ (‘jagalah diri kalian’), merupakan perintah yang sangat halus dan lembut, yang dalam istilah ilmu nahwu dinamakan Ighra. Sehingga, menurut mufassir An-Nasafi dalam kitabnya pada hamisy tafsir Khozin (I:493) , frase tersebut berarti “Wajib bagi kalian untuk memperbaiki diri kalian”. Menurut mufassir terkenal, Ibnu Katsir (2:109) ketika mengomentari ayat di atas beliau berkata : “Allah menyuruh hamba-Nya yang beriman agar memperbaiki dirinya dan melakukan aktivitas bernilai dengn kesungguhan dan kekuatan mereka”. Muhammad Rasid Ridha (Al-Manar, 7:210) mengatakan :”Allah menyuruh orang beriman agar mereka selalu berkonsentrasi memperhatikan dirinya dan memperbaikinya melalui ilmu pengetahuan dan perbuatan secara benar”. Dan menurut Thaba Thaba`i (tafsir Mizan, 6:161), “ayat ini memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu terikat (komitmen) dan bertanggung jawab pada diri mereka”.
Ayat al-Quran di atas berikut komentar para mufasir menunjukkan bahwa kita harus berkonsentrasi penuh memperhatikan diri kita untuk melakukan perbaikan dan pengembangan secara lebih optimal. Karena hanya kita sendirilah yang lebih memamahami dan bertanggungjawab atas perbaikan dan pengembangannya.
Dalam proses perbaikan dan pengembangan diri secara optimal, terlebih dahulu kita diharuskan untuk mengenali dan memahami diri. Selain itu, sebagai manusia kita pun diwajibkan untuk memahami potensi-potensi tersembunyi yang dimiliki diri agar memiliki nilai lebih dalam mengaktualisasikannya di pentas kehidupan sosial kita.
Sebagaimana tradisi al-Quran, suatu ayat dapat memiliki makna lahir dan sekaligus makna bathin. Makna bathin pun dapat memiliki makna bathin yang lebih dalam. Begitu juga pengertian anfus pada ayat tersebut di atas meliputi makna lahir dan makna batin. Sehingga diri dalam kalimat ‘mengenal diri’ sangat lebih jelas mengandung dimensi batiniah yang tersembunyi. Dan harus ingat, bahwa dimensi batiniah ini menjadi titik sentral ‘diri’ kemanusiaan kita. Sehingga ‘diri’ dalam pengertian inilah yang merupakan realitas hakiki diri kita.
Imam Gozali, sebagaimana dikutip oleh Sachiko Murata (The Tao of Islam:306) mengatakan : “Jika kamu ingin mengenal dirimu sendiri, kamu hendaknya tahu bahwa ketika kamu diciptakan, dua hal juga tercipta . Yang satu adalah kerangka lahiriah, yang disebut badan. Ia dapat dilihat dengan mata lahiriah. Yang kedua adalah makna bathiniah yang disebut jiwa, ruh, dan hati. Ia dapat dikenali melalui wawasan batiniah tetapi tidak dapat dilihat dengan mata lahiriah. Realitas kamu adalah makna batiniah itu”.
Bila Anda sudah memahami dan meyakini bahwa realitas ruhani merupakan realitas hakiki diri, maka pengetahuan tentang realitas ruhani mutlak harus dimiliki oleh Anda dan setiap insan. Sasaran utama dari pengetahuan realitas ruhani merupakan substansi yang sangat penting, yaitu untuk menempuh jalan menuju kesempurnaan. Yang paling penting lagi, bahwa pengetahuan realitas batiniah menjadi kunci utama untuk menuju pengetahuan tantang Tuhan Yang Mahakasih sebagai Pencipta diri ini. Imam Gozali, sebagaimana dikutip oleh Sachiko Murata (The Tao of Islam:305) mengatakan: “Ketahuilah bahwa kunci kepada pengetahuan tentang Tuhan adalah pengetahuan tentang jiwa kita sendiri. Itulah sebabnya dikatakan; ‘orang yang mengenal dirinya sendiri akan mengenal Tuhannya”.
Dalam kitab Bihar al-Anwar (2:32) seperti dituliskan oleh Al-Hakimi (al-Hayat , I:126) Rasulullah saw. pernah bersabda : “Barang siapa yang telah mengenal dirinya, sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya”. Masih sabda Nabi, ketika seseorang bertanya kepadanya tentang cara mengetahui kebenaran. Beliau menjawab dengan singkat yaitu “dengan cara mengetahui dirimu”.(al-hayat,I:126).
Bila Anda berfikir sedikit agak mendalam, sabda Rasul itu dapat kita fahami dengan sangat logis. Karena dalam nafs itu terdapat fotensi yang selalu cenderung pada kebenaran. Istilah yang lazim disebut hati nurani yang sangat dalam dan tak pernah berbohong. Nafs bagian ini dinamakan nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang) atau qalbun salim (hati yang selamat). Ia memancarkan cahaya Ilahiah menembus ke seluruh nadi dan tubuh menerangi dinding kegelapan nafs angkara murka. Ibun Qayim al-Juziah (Madarij as-Salikin, 3:471) menandaskan bahwa :”Allah swt telah menjadikan hati ini sebagai penerima kebenaran dan mengikutinya. Merasa tenang dan aman bersamanya, serta selalu mencintainya. Dan sebaliknya, Allah swt menjadikan hati ini menjadi benci atas kebatilan dan kebohongan, lari darinya, bimbang dan tiada ketentraman bersamanya”. Pengenalan diri seperti ini adalah puncak dari tahapan hierarki pengenalan diri.
Karena itu, pengetahuan tentang diri merupakan pengetahuan yang sangat bermanfaat dalam kehidupan Anda. Ia akan membimbing Anda cara bergaul, meningkatkan rasa kepercayaan diri, mendorong Anda untuk lebih berkreasi dan berprestasi, serta membentengi Anda dari rasa rendah diri dan frustasi. Pengetahuan ini mampu menghadapi berbagai tantangan dan dapat menyelesaikan problematika kehidupan dengan cara yang lebih indah dan memuaskan. Al-Hakimi (al-Hayat, I:127) mengutip pernyataan sayidina Ali ra. yang mengatakan bahwa “ Pengetahuan diri merupakan pengetahuan yang paling bermanfaat”. Masih pernyataan beliau “Puncak pengetahuan seseorang adalah mengenal dirinya sendiri”. Adalah benar adanya, karena pengetahuan tersebut akan mengantarkan manusia pada tingkat kesempurnaan. Kesempurnaan sejati berada pada Kesempurnaan Tuhan. kita harus berusaha untuk menggapai kesempurnaan tersebut.
Akhirnya Imam Gazali menandaskan (The Tao of Islam:305) “ Pendeknya, tidak ada yang lebih dekat denganmu kecuali dirimu sendiri. Jika kamu tidak mengenal dirimu sendiri, bagaimana kamu akan mengenal yang lain”.
Bagaimana Anda dapat mengenal orang lain, jika tidak mengenal diri Anda sendiri. Sebab, substansi batiniah orang lain pun memiliki kesamaan dengan dimensi batiniah yang Anda miliki. Anda tidak akan memahami keistimewaan yang inheren pada diri orang lain kalau Anda tidak berusaha memahami apa yang terkandung dalam diri Anda sendiri. Atau Anda hanya menganggap bahwa wujud diri ini sebagaimana wujud batu dan pepohonan ? Tentang memahami diri, dalam surat Adz-Dzariat Allah mengingatkan kita “dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan ?” (QS.51:21)
Sisi batiniah yang mana yang harus Anda fahami ? Untuk keperluan bahasan di sini kita kutip pernyatan seorang pilosuf muslim kontemporer, Muhammad Baqir Ash-Shadr (Falsafatuna:270) yang mengatakan bahwa : “Manusia memiliki dua sisi. Yang pertama sisi material yang terjelma dalam komposisi organiknya. Yang kedua adalah sisi spiritual atau non-material yang merupakan pentas aktivitas pemikiran dan mental”
Untuk sementara, pembahasan tentang sisi batin manusia dibatasi pada aktivitas mental yang berkaitan dengan berfikir dan belajar. Namun boleh jadi tulisan ini sedikit akan menyinggung sisi batiniah lainnya. Fokus kita adalah : Potensi apa yang dimiliki manusia untuk memahamai, belajar, dan berfikir. Sejauhmana potensi itu dapat berkembang. Dan bagaimana seharusnya kita memanfaatkan potensi anugerah Tuhan itu ?
B. URGENSITAS PENGENALAN DIRI
1. Kerugian Bila Tidak Mengenal diri
Akan saya kutip pernyataan para ahli, yang berkaitan dengan pengenalan diri. Salah satunya adalah pernyataan Mohammad Ali As-Somali (Mengenal diri:27) “Pengenalan diri adalah suatu sistem yang sangat efektif bagi perbaikan diri”. Ditegaskan pula oleh Trio Al-Hakimi (M. Ridha Al-Hakimi, Muhammad Al-Hakimi, dan Ali Al-Hakimi) dalam kitabnya (al-Hayat, I:224) yang menyatakan bahwa : “Syarat utama dalam mengembangkan, mendidik, dan menyempurnakan diri adalah mengenalnya”.
Bayangkan, bagaimana Anda dapat membangun suatu rumah misalnya, sementara Anda tidak mampu untuk mengenali dan memahami apa rumah itu, bagaimana cara membangunnya, dan bagaimana pula cara menempati dan memeliharanya. Makanya, jika Anda ingin mengaktualisasikan diri dalam pentas kehidupan ini, memahami diri merupakan sarat utamanya.
Selajutnya al-Hakimi (Al-Hayat, 1:224) menjelaskan, “Karena orang yang tidak mengenal diri berikut nilai-nilai wujudnya, ketinggian potensinya, dan kesiapan-kesiapan pembawaan instinsiknya, ia tidak akan pernah beranjak untuk medidik, mendorong, dan mengaktualisasikan fotensi dirinya dalam bentuk aktivitas. Bahkan ia tidak memiliki hasrat yang kuat untuk memanfaatkan fotensi diri yang dimilikinya”.
Anda termasuk kategori orang yang kufur ni`mat bila Anda tidak memanfaatkan anugrah Ilahi berupa fotensi diri yang tersembunyi. Anda pun termasuk orang yang jahil, bila Anda tidak mengenali dan memahami diri dan kekuatan fotensinya. Dalam hal ini, Mufassir kontemporer ,Thaba Thab`i dalam tafsirnya (Mizan, 6:172) mengutip perkataan sayidina Ali ra. pernah mengatakan bahwa : “Kejahilan paling besar adalah ketidaktahuan manusia akan realitas (amr) dirinya sendiri”.
Kehidupan dalam era transparansi dan informasi dewasa ini –yang seharusnya lebih saling mengenal dengan tataran relitas kemanusiaan yang hakiki- sudah tidak layak lagi adanya proses alienasi (saling asing dalam arti kemanusiaan yang hakiki) dan proses marginalisasi (saling menyingkirkan). Namun dalam kehidupan manusia yang real, proses alienasi, marginalisasi, bahkan fragmentasi ( memandang manusia secara tidak utuh) masih tetap sering terjadi. Dalam proses pergumulan manusia di muka bumi ini, ada ‘nilai kemanusiaan’ yang hilang. Proses alienasi, marginalisasi, dan pragmentasi ini menjadi pergulatan yang bukan hanya terjadi antar manusia, bahkan terjadi pada dirinya sendiri. Artinya, orang sudah terasing dari dirinya yang hakiki, dan realitas kemanusiaan yang hakiki disingkirkan, serta memandang dirinya sendiri sudah tidak utuh lagi, lebih-lebih mereka lari dari ‘diri’ yang sejati. Sayidina Ali ra menyindir kita : “Saya merasa heran kepada orang yang sibuk mencari barang yang hilang darinya, padahal yang sesungguhnya ia telah kehilangan dirinya tapi tidak mencarinya”.
Bila Anda tidak mengenal diri Anda sendiri beserta fotensi-fotensi fitrinya, bukan hanya terasing, bahkan boleh jadi Anda akan memusuhinya, hanya Anda tidak tahu dan tidak menyadarinya. Sayidina Ali ra berkata : ” Manusia akan memusuhi apa yang ia tidak ketahui”. (al_Hayat, I:172). Pernyataan sayidina Ali ini bukan tanpa alasan, kalau Anda merujuk pada al-Quran, dapat ditemukan pernyataan yang hampir senada yaitu dalam surat Yunus ayat ke 39, Allah berfirman “Bahkan mereka membohongkan apa-apa yang mereka tidak mengetahui secara sempurna”. (QS.10:39).
2. Manfaat Mengenal Diri
“Orang akan mendapatkan kesuksesan besar, manakala ia berhasil mengenali dirinya” (Tafsir Mizan, 6:173). Anda akan meraih kesuksesan besar dan menggapai prestasi gemilang dalam kehidupan ini, manakala Anda berhasil mengenali hakikat diri dan fotensi intrinsiknya secara baik dan benar. Bila Anda memanfaatkan modal kecerdasan yang di anugerahkan oleh Allah swt , baik itu kecerdasan intelektual, emosianal, dan spiritual, insya Allah Anda dapat memiliki ilmu teoritis tentang pengenalan diri.
Perlu diketahui, bahwa pengenalan diri terdiri dari dua tingkatan. Pertama, pengenalan diri secara teoritis. Artinya Anda harus memliki dasar ilmiah tentang diri dan kekuatan-kekuatan potensinya, sebagaimana sudah diteliti dan di populerkan oleh para ahli di bidangnya. Baik bidang pisiologi-neurologist, hususnya yang membahas cara kerja syaraf otak dalam belajar. Begitu pula bidang psikologi yang erat kaitannya dengan aktivitas mental dalam belajar. Maupun bidang filosofi, dan lebih utama lagi pengetahuan teoritis tentang ‘diri’ yang dirintis oleh para ahli filosofi ruhani.
Kedua, bersifat tajribi, pengalaman. Artinya melalu metode pengalaman batiniah paraktis yang didukung oleh pengetahuan teoritis. Karena pengalaman batiniah inilah yang dapat merasakan perkembangan ruhani secara akurat, serta lebih memahami sinergitas kinerja potensi-potensi internal diri.
Adapun mengenai manfaat pengenalan diri, secara sederhana dapat disimpukan dalam paragraf-paragraf di bawah ini :
1). Mengetahui potensi-potensi fitri, beserta kekuatan dan kelemahannya.
Manusia diciptakan dengan dibekali potensi fitriah untuk melangsungkan kehidupannya di bumi yang fana ini. Potensi adalah merupakan kapasitas diri (kemampuan kecenderungan bawaan sejak ia diciptakan), baik yang positif maupun brsifat negative. Salah satu manfaat praktisnya adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang berbagai potensi diri berikut kapasitasnya serta bakat-bakat tersembunyi dan kelemahan-kelemahan yang mengikutinya.
Bila Anda belajar mengenali diri secara teoritis kemudian diproyeksikan pada diri Anda sendiri , Anda akan memperoleh dua keuntungan secara bersamaan. Pertama, Anda akan medapatkan pengetahuan teoritis tentang diri, dan kedua, Anda akan mengetahui dan menemukan kemampuan-kemampuan diri yang Anda miliki. Anda dapat mengetahui kekuatan-kekuatan yang dimiliki, kemudian berusaha untuk mengembangkannya dengan lebih sempurna. Anda juga dapat menemukan kelemahan diri, kemudian mencari alternateif cara memperbaikinya.
Sayidina Ali ra (al-Hayat, 1:127) mengatakan “Seseorang, sudah cukup dikatakan jahil bila ia tidak mengenal kemampuan diri yang dimilikinya”. Tambahnya lagi “Binasalah orang yang tidak mengenal kemampuan dirinya”.
Bila menemukan kelebihan-kelebihan, Anda harus bersyukur atas segala anugerah Tuhan. Bila menemukan kelemahan, Anda tidak perlu putus asa dan kecil hati karena jalan untuk meraih kesuksesan masih terbuka lebar. Hanya saja, sedikit memerlukan keberanian dalam menempuh jalan perbaikan. Dan jangan lupa, bahwa penemuan kelemahan diri merupakan langkah awal dalam proses perbaikan dan pengembangan diri. Menurut ungkapan sayidina Ali dalam kitab Ghurar al-Hikam halaman 322, yang dikutip al-Hakimi (al-Hayat, 1:127) beliau menyatakan :”Konsentrasi internal pada diri sendiri, berarti langkah maju untuk memperbaikinya”.
2). Menemukan hakekat realitas diri.
Pengetahuan diri yang dianjurkan islam bukanlah pengetahuan sebatas dimensi fisiknya, namun lebih menitik beratkan pada aspek ruhaniahnya. Seperti yang pernah di sebutkan sebelumnya, bahwa realitas ruhani merupakan realitas hakiki diri. Dengan belajar menegnali diri, Anda akan memperoleh pengetahuan tentang hakikat realitas ruhani insani. Realitas ruhani diri dapat Anda ketahui, karena manusia dibekali dengan berbagai kecerdasan potensial untuk memahaminya. Menurut Dr. Ali Syari`ati dalam bukunya ‘Manusia dan Agama’ (1990:164) “Nilai-nilai insani seseorang secara potensial ada dalam diri seseorang, yang harus dilatih agar tumbuh subur”.
Kadang-kadang muncul suatu pemahaman yang keliru, bahwa pengetahuan ruhani merupakan suatu konsep yang sangat tinggi dan tidak mungkin dipelajari dan dimiliki oleh manusia biasa seperti kita. Bila mendengar pembicaraan orang tentang sisi dalam (ruhani) manusia, langsung memeberikan komentar dengan nada kritis-destruktif yang seolah-olah ruhani itu bukan miliknya pula.
Anda harus menyadari bahwa mengetahui realitas ruhani bukan hanya diperuntukkan bagi para nabi, para wali atau kaum sufi. Manusia biasapun, termasuk Anda, yang bukan nabi, bukan wali, dan bukan sufi secara potensial memiliki kemampuan untuk memahami dimensi ruhani yang dimilikinya sendiri, insya Alloh. Modal pertama yang harus kita bangkitkan adalah kemauan yang kuat untuk memenuhi perintah Ilahi dalam mengenal, memperhatikan, memperbaiki, dan mengembangkan potensi diri.
3). Menememukan hakekat kamanusiaan secara menyeluruh.
Bila kita telah menemukan hakekat realitas diri sendiri, maka akan mengetahui pula hakekat manusia lain beserta martabat yang disandangnya. Realitas hakiki diri sendiri sama dengan realitas hakikat diri yang dimiliki orang lain. Kita akan menghormati dan menghargai orang lain sebagaimana kita menghormati dan menghargai diri kita sendiri. Di hadapan manusia lain, kita tidak akan bersikap sombong dan tidak pula merasa rendah diri. Kita tidak akan pernah merasa lebih hebat dan memandang rendah terhadap orang lain. Bila sudah menemukan hakikat kemanusiaan, maka missi, visi dan orientasinya adalah ‘memanusiakan’ diri sendiri, dan ‘memanusiakan’ orang lain secara bersamaan. Alienasi, marginalisasi, dan fragmentasi manusia tidak akan banyak terjadi, karena sudah saling mengenal dengan akrab bahwa setiap individu dari mereka memiliki realitas hakiki diri yang sama.
Manusia memiliki kecenderungan untuk makin ‘sadar’ akan diri maupun lingkungan dunianya. Kesadaran diri bila berkembang secara optilmal akan melahirkan sifat ‘Kesadaran Kemanusiaan’. Kesadaran Kemanusiaan, adalah bentuk kesadaran diri akan ‘jiwa nurani insani’ yang dimiliki setiap insan. Kesadaran diri menjadi langkah awal untuk berani menjelajahi dalam menemukan pemahaman akan ‘jiwa nurani insani’ secara universal.
Sebaliknya, bila kita tidak mengetahui realitas hakiki diri, kita tidak akan pernah mengetahui nilai dan martabat kemanusiaan yang dimiliki orang lain. Sayidinan Ali ra (al-Hayat, 1:127) mengatakan “Orang yang tidak mengenal martabat dirinya sendiri, iapun awam pada setiap yang memiliki martabat”.
Kesulitan dalam mewujudkan tatanan sosial yang manusiawi, dalam pengertian kehidupan yang sarat dengan keadilan, moral, dan kebersamaan yang berakar pada hati nurani manusia, adalah dikarenakan kurangnya pemahaman aspek ruhani manusia. Adalah benar apa yang ditawarkan oleh DR. Ali Syari’ati, ketika merintis tentang membangun masa depan islam dalam tatanan sosial, beliau menekankan agar setiap individu “kembaili pada diri sendiri”. Semboyan ‘kembali pada diri sendiri’ adalah semboyan yang sangat mendasar, primer, dan vital, yaitu kembali pada hakikat diri manusia yang sejati.
4). Mengetahui dan menyadari bahwa manusia diciptakan dengan sempurna.
Setelah mengetahui potensi-potensi instrinsik diri, baik melalui kajian pisiologi, psikologi, maupun kajian pilosofi ruhani, kita akan menyimpulkan bahwa betapa sempurna Tuhan menciptakan diri kita ini. Bila kita tidak sampai pada kesimpulan ini, berarti landasan kajian ilmiah tentang diri belum sempurna.
Mari kita simak bersama firman Tuhan dalam al-Quran surat at-Tin (95:4) yang berbunyi : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Al-Quran menggunakan kata ‘ahsan’ yang berbentuk isim tafdhil (super lative) yang bermakna ‘paling’. Para mufasir menggunakan kata-kata yang sepadan dengannya seperti kata ‘ahsan’, paling baik; ‘akmal’, paling sempurna; ‘a`adal’, paling seimbang.
Dari sisi biologis, para mufasir sepakat bahwa kata At-Taqwim mengandung makna pada aspek ini, seperti bentuk, rupa, dan berjalan dengan tegak. Pemahaman ini dapat dilacak pada tafsir-tafsir terkemuka misalnya, Ibnu Katsir 4:527, Khazin 4:391, An-Nasafi Hamisy Khazin 4:391, dan tafsir Mukhtashar At-Tobari.
At-Taqwim adalah menjadikan sesuatu memiliki penopang. Penopang adalah yang membuat sesuatu menjadi tegak dan tetap sehingga menjadi seimbang. Attaqwim dapat diartikan ‘seimbang’. Seimbang dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk psikhis yang merupakan sisi batiniah manusia. Mufassir kontemporer, Thaba Thaba`i (Mizan 20:365) menyimpulkan bahwa manusia diciptakan dengan “kesempurnaan yang universal, baik dalam seluruh sistem maupun dalam berbagai dimensi wujudnya”. Manusia diciptakan dengan memiliki keseimbangan sistem-sistem yang ada di dalamnya, baik sistem biologis (pisik) maupun sistem psikis (ruhani/mental). Wujud manusia diciptakan dengan sempurna, baik wujud fisik maupun wujud mental dan ruhani. Sekali lagi saya tekankan bahwa realitas wujud yang hakiki dari manusia adalah wujud ruhaninya.
Manusia pada asal penciptaannya adalah sempurna dan seimbang baik fisik maupun mental. Kesempurnaan mental (sisi batin) manusia tidak akan dapat dirasakan kalau tidak mengetahui dan mendalaminya. Sehingga motivasi dominant yang mendorong kita untuk mengenal diri adalah untuk menjawab sebuah pertanyaan mendasar yaitu ‘bagaimana bentuk kesempurnaan jiwa itu?’
Kesempurnaan dan kemuliaan manusia teridiri dari dua tahapan. Pertama, kemuliaan dan kesempurnaan takwini, dalam pengertian manusia pada awal penciptaannya adalah mulia dan sempurna. Tahap kedua bersifat ikhtiari. Manusia memiliki pilihan bebas untuk memilih kesempurnaan dan kemuliaan atau mengambil pilihan lain yaitu kehinaan, kerendahan, dan besengsaraan. Bila memilih kesempurnaan dan kemuliaan, ia siap melakukan kebajikan dengan mengikuti jalan yang sudah dipersiapkan Allah untuk menuju kemuliaan tersebut. Jadi, kesempurnaan dan kemuliaan tahap kedua, diserahkan pada pilihan bebas manusia. Sempurna, mulia, dan bahagia, atau memilih kehinaan dan kesengsaraan. Akh, selanjutnya terserah Anda !
5). Mengetahui bahwa manusia diciptakan bukan kebetulan dan tanpa makna.
Manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan bukanlah sia-sia tanpa makna, tetapi memiliki tujuan utama yang sangat berharga. Manusia diciptakan, agar mereka mampu mencerap Asma-asma Tuhan dan mengejawantahkannya dalam kehidupan mereka di muka bumi ini.
Tuhan sejak awal mengingatkan kita melalui firman-Nya (QS.23:115) : ”Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
Ibnu Katsir (3:259) menjelaskan : “Apakah kamu menduga, bahwa kamu diciptakan dengan sia-sia tanpa maksud, tujuan, dan hikmah?” Firman Tuhan ini merupakan bentuk pertanyaan retoris, yang secara tekstual jawabannya tidak tertulis. Karena dengan sangat mudah dapat dipahami bahwa manusia diciptakan penuh dengan tujuan dan hikmah, dan pasti akan kembali menghampiri Penciptanya.
Dalam ayat lain (QS. 84:6) Allah SWT mengingatkan “Wahai manusia ! Sesungguhnya kamu sedang bekerja dan bergegas menuju Tuhanmu. Dan kamu pasti menemui-Nya”.
Setelah mengetahui kehebatan yang dimiliki oleh diri sejati insani, ternyata manusia diciptakan untuk menempuh suatu jalan agar mereka dapat hidup dalam kedamaian dan penuh kebahagiaan. Sebagai khalifah Allah dimuka bumi, manusia berkewajiban untuk memakmurman bumi ini dengan mewujudkan tatanan soasial yang penuh dengan keadilan. Keadilan harus dapat dirasakan oleh setiap lapisan insane, sehingga setiap insan dapat menikmati kebahagiaan. Kebahagiaan dapat diidentifikasi bila segalanya sempurna, lahiriah dan batiniah. Kesempurnaan merupakan puncak kebahagiaan manusia.
Kesempurnaan dapat diraih, pertama, bila ada pengakuan bahwa ‘diri‘ ini diciptakan dengan sempurna. Kedua, meyakini bahwa yang menciptakan diri yang sempurna ini adalah Dzat Yang Maha Sempurna. Ketiga, menempuh jalan yang sempurna yang sudah ditentukan oleh Dzat Yang Maha Sempurna. Dan yang terahir, meyakini dengan kuat bahwa diri ini akan kembali lagi pada Dzat Yang Maha Sempurna.
Ketika kembali menuju Dzat Yang Maha Sempurna, haruslah diri ini kembali dalam keadaan yang sempurna pula. Kita harus berusaha dengan penuh semangat dan hasrat yang kuat untuk meraih kesempurnaan, mendekati Kesempurnaan Dzat Yang Maha Sempurna. Kita harus ingat “pada suatu hari dimana tidak berguna lagi kekayaan dan keturunan, kecuali orang yang datang menghampiri Allah dengan hati yang selamat”.
6). Mengetahui Pencipta
Puncak dari hierarki tahapan pengenalan diri harus bermuara pada pengenalan Sang Pencipta. Ini adalah tujuan tertinggi dari pengenalan diri, pengetahuan yang paling utama dan paling mulia. Kita harus dapat menemukan siapa dibalik kehebatan dan kesempurnaan diri ini ? Ketika kita menemukan diri dan potensi-potensi fitrinya, maka hal tersebut meniscayakan untuk mengetahui Penciptanya. Siapa yang menganugerahkan kehebatan, kemampuan-kemampuan batin, dan keistimewaan diri ini ? Siapa yang menciptakan sistem-sistem yang terdapat pada tubuh ini, sehingga semua sistem yang ada, baik fisik maupun ruhani semuanya dalam keadaan seimbang ?
Pengetahuan tentang diri menjadi pintu gerbang menuju pengetahuan metafisika yang non material, menjadi jembatan yang menghubungkan antara aspek manusiawi yang membumi dengan aspek Ilahiah yang suci dan bercahaya. Ketika kita menemukan Sang Pencipta, yang pasti memiliki sifat Maha Sempurna, nurani yang suci pasti akan mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya, berhidmat kepada-Nya, memiliki rasa rindu dan ingin selalu berhubugan bersama-Nya.
Inilah bukti pernyataan yang pernah di nubuwwatkan oleh baginda nabi Muhammad saw. “Barang siapa yang telah mengenal dirinya, sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya”. Masih sabda Nabi, ketika seseorang bertanya kepadanya tentang cara mengetahui kebenaran. Beliau menjawab dengan singkat yaitu “dengan cara mengetahui dirimu”.(al-hayat,I:126).
Bila sudah meyakini bahwa kesempurnaan diri dan potensi fitrinya tidak terwujud secara alami dengan begitu saja, pastikan pada diri Anda, bahwa sebab utama (sebab primer) kemaujudan tersebut adalah Allah swt. Anda harus selalu mengabdi kepada-Nya, mengingat-Nya, dan jangan sekali-kali lupa kepada-Nya. Sebab, Anda tidak akan mampu lepas dari-Nya walau hanya satu sekon pun. Anda tidak mungkin lepas dari-Nya, sebab Dialah yang selalu melakukan pengaturan dan pengawasan pada setiap saat terhadap sistem tubuh yang beroperasi pada diri Anda. Jika Anda berhasil memaknai dan merasakan lebih dalam tentang hal ini, maka akan muncul dari hati nurani yang suci sebuah kesimpulan yang sangat berharga, dan akan mengatakan pada diri Anda bahwa “Aku selalu membutuhkan Allah SWT”.
Jika Anda melupakan-Nya, lalai dalam merespon perintah-Nya, termasuk perintah untuk mengenal diri, maka Dia akan menjadikan Anda lupa pada diri Anda sendiri. Dalam surat Al-Hasyr (QS.59:19) Dia mengatakan :”Dan jangalnah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.
PEMBELAJARAN YANG RAMAH OTAK
MENGENAL POTENSI OTAK DALAM BELAJAR.
A. MENGENAL KEKUATAN OTAK YANG TAK TERBATAS
1. Mengetahui, Langkah Awal untuk Mensyukuri
Walaupun hanya bersifat teoritis dan tidak mendalam, itupun hanya menimba informasi ilmiah dari para ahli, kita dituntut untuk mengetahui kehebatan otak. Dengan mengetahui kehebatan otak, kita akan menyadari dan meyakini bahwa otak sebagi nikmat yang luar biasa dan sangat menakjubkan. Keyakinan ini akan memotivasi kita untuk mensykurinya.
Dalam kitab Madarij as-Salikin (2:247), buah karya Ibnu Qoyim Al-Juziah, Syeikh Abu Ismail al-Harawi, mengatakan bahwa : “Syukur itu sebuah nama untuk mengetahui nikmat. Dan mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat”. Ibnu Qoyim mengomentarinya, “Mengetahui nikmat merupakan fondasi (rukun) syukur”. Beliau melanjutkan dalam pragrap lain “bahkan mengetahui nikmat merupakan pondasi yang paling utama, karena tidak mungkin ada syukur, tanpa mengetahui nikmat”. Ternyata syukur pun ada rukunnya, mirip seperti pada shalat dan ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Dalam kitab lain (Fath al-Majid:452) Ibnu Qoyim mengatakan “Barang siapa yang tidak mengetahui nikmat, lebih-lebih jahil atas nikmat itu, maka ia tidak akan pernah mensyukurinya”. Syeikh Abdurrahman (Fath al-Majid:65 dan 452), ketika mengomentari kitab Tauhid Abdul Wahab, yang menjadi rujukan utama kaum Wahabi di bidang tauhid, ia mengatakan :”Syukur itu tidak akan tegak, kecuali bila dibangun di atas tiga rukun (fondasi); pengakuan atas nikmat, menghubungkannya dengan Pemberi nikmat, dan menggunakan sesuai dengan tuntutan (fungsi) nikmat”.
Mensyukuri nikmat otak adalah dengan menggunakannya, dan untuk menggunakan otak secara maksimal harus didahului dengan pengetahuan tentang otak. Ini baru merupakan salah satu bagian dari bentuk syukur dalam kaitannya dengan otak. Mengetahui fungsi dan kapasitas otak bukan hanya termotivasi oleh rasa syukur saja, melainkan untuk penggunaannya. Maksudnya, agar dapat memanfaatkan fungsi otak secara optimal, kita dianjurkan oleh para ahli untuk mengetahui otak itu sendiri. Seperti anjuran Tony Buzan, (Gordon, 2000:115) “Anda dapat menggunakan pikiran Anda secara maksimal dengan mempelajarinya terlebih dahulu”. Yang dimaksud ‘fikiran’ dalam kutipan Tony Buzan adalan otak, sebagaimana konteknya.
2. Mengenal Kehebatan Otak yang Menakjubkan
Dari berbagai organ tubuh manusia, otak merupakan organ yang paling kompleks. Hingga saat ini, penelitian tentang otak terus berkembang. Dave Meier, salah seorang pakar sekaligus Direktur sebuah lembaga ‘Accelerated Learning, dalam bukunya “The Accelerated Learning Hand Book” (2002:81) mengatakan bahwa : “Penelitian otak yang dilakukan dalam 25 tahun terahir lebih banyak dari pada dalam seluruh sejarah manusia digabung menjadi satu”.
Otak manusia memiliki kapasitas (kemampuan yang bersifat bawaan) sangat besar untuk belajar karena secara proporsional manusia memiliki area otak yang selalu siap untuk belajar sesuatu yang baru. Area otak itu dikenal sebagai otak berfikir atau otak belajar (the learning brain), dan dalam istilah neurologist dinamakan neocortex.
Menurut dr. Sufyan Ramadhy dan DR. Dadi Permadi,M.Ed., (2001:29-30), “Kemampuan Neokortex pada manusia memberikan kemampuan manusia untuk berfikir, persepsi, berbicara, berbahasa, berperilaku yang beradab dan berbudaya, belajar atau mempelajari sesuatu yang baru, imajinasi kreatif, memproses informasi, merasakan, bergerak, dan fingsi-fungsi luhur lainnya”.
Berdasarkan hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa otak manusia terdiri dari milyaran sel aktif yang disebut neuron. Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos (2000:114) melaporkan “Otak Anda memiliki 100 miliar sel aktif, masing-masing memiliki hingga 20.000 koneksi”. Dan masih menurut Gordon pula (2000:113) “Dan sejak hari-hari pertama kehidupan, sel-sel tersebut membentuk koneksi belajar (atau sinapsis) dengan kecepatan yang luar biasa: 3 miliar perdetik. Koneksi tersebut adalah kunci dari kekuatan otak”.
Masing-masing sel aktif dapat membuat jaringan sampai 20.000 sambungan tiap detik. Yang sangat menakjubkan adalah pada hari-hari pertama kehidupan kita, otak kita dapat berkembang melalui proses belajar alamiah dengan kecepatan 3 miliar sambungan perdetik. Sambungan-sambungan inilah yang menjadi kunci kekuatan otak. Untuk sambungan-sambungan ini, para ahli neurologist menyebutnya dengan koneksi atau sinapsis.
Kecanggihan dan kecepatan sel-sel otak dalam melakukan hubungan (koneksi), dapat dibuat perbandingan dengan 3 hari pertama dalam perjalanan Angkasa di atas permukaan Mars pada tahun 1997, seperti yang dilaporkan Gordon. “Jutaan pengguna Internet membentuk 200 juta sambungan untuk mengikuti perkembangan perjalanan angkasa tersebut. Sedangkan otak manusia mampu membuat jaringan 15 kali lebih besar dalam satu detik dibanding dengan jaringan internet di seluruh dunia dalam waktu 3 hari”.
Bahkan Tony Buzan, seorang pakar psikologi dan memori, sebagaimana dikutip oleh Gordon (2000:112) mengatakan bahwa “Otak Anda terdiri dari trilyunan sel otak. Setiap sel otak adalah seperti gurita kecil yang begitu komplek. Ia memiliki sebuah pusat, dengan banyak cabang, dan setiap cabang memiliki banyak koneksi. Tiap-tiap sel otak tersebut jauh lebih kuat dan canggih dari pada kebanyakan computer di planet ini. Setiap sel tersebut berhubungan dengan puluhan ribu sampai ratusan ribu sel yang lain. Dan mereka saling bertukar informasi. Ini sering disebut jaringan yang paling mempesona, benda yang begitu kompleks dan indah. Dan setiap orang memilikinya”.
Craig Karges, membuat gambaran mengenai koneksi yang terjadi di dalam otak, seperti ditulis oleh Dr. Jalaludin Rakhmat dalam ‘Kata Pengantar’ SEPIA (2003:10-11)
“Setiap sel otak, atau neuron berhubungan dengan semua sel otak lainnya. Bayangkan 100 milyar koneksi listrik yang terjadi di dalam otak Anda sekarang ini! Bayangkan setiap orang di dunia (kira-kira llima setengah milyar manusia) bicara di telpon satu sama lain pada saat bersamaan. Gambaran yang dahsyat bukan? Tetapi untuk memperoleh gambaranbetapa dahsyatnya yang terjadi di dalam otak Anda, Anda harus memperluas gambaran ini. Suruhlah lima setengah milyar orang itu berbicara pada delapan belas pesawat telpon masing-masing. Suruh mereka berbicara satu sama lain pada saat yang bersamaan. Jika Anda dapat menggambarkannya dalam benak Anda, Anda mulai paham betapa dahsyatnya proses komunikasi di dalam otak Anda.
Jika setiap neuron hanya dapat menyentuh dua neuron lainnya, jumlah kemungkinan konfigurasi dalam otak Anda adalah dua pangkat 100 milyar ! Bilangan sebesar itu memerlukan waktu 100 tahun untuk Anda tulis dengan kecepatan satu angka perdetik. Dalam kenyataannya, karena setiap neuron berhubungan dengan setiap neuron lainnya, kemungkinan konfigurasinya mustahil kita fahami”.
Robert Ornstein, seorang guru besar di universitas Stanford, dalam buku The Amazing Brain, seperti kutipan Gordon (200:115) mengatakan bahwa :”Jumlah koneksi yang mungkin, kemungkinan lebih banyak dari pada jumlah atom di jagat raya ini”. Hal ini menunjukkan kemampuan dan kapasitas otak yang luar biasa ini, sehingga otak manusia mampu menghapal seluruh atom yang ada di alam raya ini. Untuk lebih konkretnya, Ir. Agus Nggermanto (2002:38) menjelaskan bahwa “Kemampuan memori otak manusia adalah 10800 ( angka 10 dengan 0 sebanyak 800 di belakangnya)., sedangkan jumlah atom yang ada di belahan bumi ini sekitar 10100 (angka 10 dengan 0 sebanyak 100 di belakangnya)”.
Masya Alloh ! Betapa hebat dan canggih otak ini. Lebih hebat, lebih canggih, dan Lebih Sempurna lagi Engkau ya Allah, sebagi Pencipta otak ini. Engkau telah menganugerahkan potensi yang luar biasa kepada kami, akan tetapi kami tidak mampu atau karena kelalaian kami, untuk mengebangkan anugerah-Mu. Maafkan kami ya Allah. Curahkanlah kepada kami cahaya-Mu, agar kami dapat mengoptimalkan potensi yang menakjubkan ini, dan mampu mensyukuri setiap anugrah-Mu.
Koneksi (Sinapsis) Sebagai Inti Kecerdasan
Danah Johar (SQ, 2001:36) mengatakan bahwa ;”Sebenarnya koneksi saraflah yang memberi kita kecerdasan”. Artinya semakin luas kita mengait-ngaitkan berbagai hal semakin banyak kita belajar. Dalam halaman lain (SQ, 2001:37) ia mengatakan “Koneksi-koneksi ini menyimpan fakta dan pengalaman memori, memungkinkan mereka membaca, menulis, dan melakukan pembelajaran secara luas”.
Dave Meier, dalam bukunya Accreleted Learning (2002: 286) menyatakan bahwa: “Menghubungkan adalah intisari kecerdasan, apakah itu antara neuron-neuron di dalam otak atau para pembelaja dalam suatu komunitas belajar. Semakin banyak kesalingterkaitan yang ada, semakin banyak pula kecerdasan yang hadir”.
Kita harus banyak melakukan koneksi dengan cara menghubungkan sel otak dengan berbagai hal, semakin banyak hubungan (koneksi) yang terjadi, semakin banyak pula kecerdasan yang terbentuk. Dan sebaliknya, bila sel otak tidak melakukan koneksi dengan berbagai hal, semakin kurang kecerdasan yang berkembang, bahkan bisa jadi semakin lemah dan rusak. Danah Johar (SQ, 2001:37) menegaskan : “ Jika system saraf jarang digunakan (untuk melakukan koneksi), ia akan rusak atau fungsinya akan di ambil alih untuk tujuan yang lain”.
Untuk melakukan koneksi, siapapun mampu melakukannya. Orang yang bukan pembelajar formal pun dapat melakukan, lebih-lebih yang tercatat sebagai pembelajar secara formal. Memang benar di akui oleh para ahli, bahwa kita akan kehilangan sebagian sel saraf otak bersamaan dengan tambahnya usia. Seseorang yang berusia lanjut mempunyai jumlah sel saraf lebih sedikit di banding dengan sel saraf bayi yang baru lahir. Danah Johar (SQ.2001:46) melanjutkan “Akan tetapi kita dapat menumbuhkan koneksi-koneksi saraf yang baru sepanjang hidup kita”.
Perlu di perhatikan, bahwa kapasitas dan kemampuan otak , bukan hanya tergantung pada jumlah sel saraf aktif, melainkan pada jumlah dan kualitas koneksi (sinapsis) yang terjadi. Dan ini bisa ditumbuh kembangkan di sepanjang hayat kita. Seperti yang dinyatakan oleh dr. Sufyan Ramadhy (2001:38-39) “Kekuatan otak (brain power) itu tergantung kepada jumlah dan kualitas sinapsis yang terbentuk melalui proses belajar”
Masya Allah, benda yang besarnya tidak lebih dari seuntai anggur, dan lebih kecil dari pada sebuah kol. Beratnya tidak lebih dari 1,5 kg., anak kecilpun dapat memegangnya dengan sebelah tangan. Namun, ia memiliki kemampuan yang sangat dahsyat dan luar biasa serta sangat menakjubkan. Ia beribu-ribu kali lebih hebat dari computer terhebat di dunia. Ia adalah ‘otak’ dan kita pun memilikinya.
Secara fisiologi, otak Anda sangat mirip dengan milik orang lain, bahkan dengan pemikir-pemikir cemerlang sekalipun seperti Albert Einstein, Leonardo Da Vinci, Al-Khowarizmi, Al-Gozali, Ibnu Rusyd, Prof. Dr. Habibi, Dr.Nurholis Majid, Dr.Amin Rais, dan orang-orang terkenal lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa secara fisiologis, otak Anda memiliki peluang yang besar untuk berkembang dan mencapai keberhasilan. Anda hanya perlu belajar bagaimana mengelola dan membimbingnya untuk mencapai prestasi gemilang Anda.
Kapasitas otak sangat tak terbatas dan penelitian otak terus berkembang sehingga penemuan berbagai kecerdasan mulai bermunculan. Penemuan mutahir dari para ahli dan peneliti, ternyata di dalam otak masih lebih banyak kekuatan yang bersifat potensialnya ketimbang yang aktual.
Profesor Dr.Marian Diamon, ilmuwan California, seperti laporan Gordon Dryden (2000:127) setelah ia membedah dan meneliti otak Einstein, ditemukan elemen-elemen jaringan potensial otak manusia yang belum dimanfaat, sehingga dia menyimpulkan bahwa “...elemen-elemen ini benar-benar membuktikan adanya potensi besar otak manusia yang belum dimanfaatkan sepenuhnya”.
Michael J. Gelb, direktur ‘Hight Performance Learning’ Washington, D.C., dalam ‘Kata Pengantar” buku karya Joiyce Wycoff, Menjadi Super Kreatif Melalui Metode Pemetaan Pikiran’ (2003:13), menguraikan bahwa : “Pada tahun1950-an, ahli jiwa memperkirakan bahwa rata-rata orang menggunakan 50 % kapasitas otaknya. Pada tahun1960-an dan 1970-an, perkiraan tersebut turun menjadi 10 %. Pada tahun1980-an hal tersebut turun lagi menjadi 1 %. Sekarang pada tahun 1990-an, perkiraan tertinggi adalah 0,01 % atau lebih keci lagi”.
Perkiraan di atas bukan menggambarkan kecerdasan manusia yang menurun, melainkan lebih menggambarkan kemampuan manusia sekarang yang makin canggih dalam mengukur potensi otak Bukan karena kecerdasan manusia menjadi turun secara drastis, melainkan cerminan bahwa sekarang ini banyak ditemukan kekuatan potensial otak yang belum dimanfaatkan.
Ide-ide cemerlang dari orang-orang jenius itu, sebetulnya masih sedikit dibanding dengan kapasitas otak manusia. Seperti dikatakan Gordon (2000:113) bahwa “orang hanya menggunakan bagian yang teramat kecil dari kemampuan yang mengagumkan ini”. Ide-ide cemerlang berikutnya, yang peluang munculnya lebih besar, adalah menunggu kreativitas brilian Anda.
B. MENGENALl TEORI OTAK
Seperti ungkapan Tony Buzan, (Gordon, I,2000:115) bahwa “Anda dapat menggunakan pikiran Anda secara maksimal dengan mempelajarinya terlebih dahulu”, dalam kesempatan ini kita mencoba untuk mengenal dan memahami sebahagian teori tentang otak. Sebelum mengetahui dan memahami teori otak secara mendalam, perlu adanya sebuah perkenalan tingkat dasar. Pengenalan teoritis tentang otak dalam tulisan ini, sudah barang tentu sangat sederhana, akan tetapi sangat menunjang bagi dunia pendidikan dan peningkatan efektivitas belajar.
Cara kerja otak dalam belajar, memang masih banyak hal yang belum terungkap, tetapi di sisi lain, banyak juga yang sudah ditemukan oleh para ahli. Teori-teori yang sudah ditemukan oleh para ahli, sangat bermanfaat dan merupakan kontribusi berharga dalam memperkaya pemahaman tentang cara otak belajar. Hasil para ahli dan peneliti, pandangannya tidak terlalu bertentangan bahkan lebih saling melengkapi dan saling mendukung.
Uraian dalam tulisan ini tentu tidak terlalu teknis apalagi medis-neurologis, paling tidak, hanya untuk mendapatkan kiasan atau gambaran sederhana tentang otak yang kita miliki. Dengan mempelajari teori tentang otak, berarti kita sudah mulai menjelajahi diri kita sendiri.
1. Teori Otak Triune (Three in One)
“Otak manusia adalah massa protoplasma yang paling kompleks yang pernah dikenal di alam semesta ini. Inilah satu-satunya organ yang sangat berkembang sehingga ia dapat mempelajari dirinya sendiri”, kata Bobbi De Porter dan Mike Hernacki (2001:26) dalam bukunya Kuantun Lerarning. Walaupun system otak sangat kompleks, akan tetapi ia masih dapat dipelajari. Untuk menghilangkan kesan rumit, para ahli membagi lapisan otak dengan tujuan untuk penyederhanaan dan mempermudah dalam pemahaman. Lahirlah gagasan baru yang disebut teori Three in One tentang otak manusia.
Teori otak triune (singkatan dari three in one, tiga dalam satu kesatuan) dikenalkan oleh seorang peneliti otak bernama Dr. Paul Mac Lean. Menurut teori ini, otak manusia mempunyai tiga lapisan otak, masing-masing mempunyai fungsi spesialisasi terpisah meskipun tetap ketiganya saling berhubungan. Ketiga lapisan otak ini saling terkait dalam satu organisme menyeluruh dan saling terlibat dalam tugasnya dengan cara yang komplek, rumit, tapi menentukan.
Lapisan otak manusia terdiri dari tiga bagian dasar yang berbeda, yaitu otak reptil, sistem limbik , dan otak neokortek yang disebut dengan otak belajar.
Otak Reptil
Disebut otak reptil, karena mirip dengan otak reptile berdarah dingin. Disebut juga dengan batang otak, karena letaknya berada pada batang otak. Manusia dan binatang merayap memiliki unsur kesamaan yaitu kepemilikan otak reptile. Inilah tingkat kecerdasan terendah dan paling sederhana dari spesies manusia.
Tugas utama otak reptile ini adalah mempertahankan diri. Bagian otak ini mengendalikan sebagian besar fungsi-fungsi otomatis penting seperti detak jantung, pernapasan, system peredaran darah, dan fungsi-fungsi naluriah tubuh lainnya. Ia bekerja secara otomatis dengan insting mempertahankan hidup, dorongan untuk mengembangkan spesies (seks). Pusat perhatiannya adalah makanan, minuman, tempat tinggal, reproduksi, perlindungan diri, dan cenderung mengkuti contoh secara membuta, dan senang pada hal-hal yang bersifat rutin.
Jika otak reptile yang dominant menguasai manusia, maka ia tidak dapat belajar dan berfikir pada tingkat yang lebih tinggi. Ia lebih cerdas memanipulasi fakta dan data, lebih pinter menipu orang demi perjuangan dan kelangsungan hidupnya. Menghalakan segala cara yang penting dia bisa kaya. Manusia seperti itu adalah manusia reptilian, wajanya manusia tetapi prilakunya binatang.
· Hubungan Otak Reptil dengan Belajar
Proses pembelajaran tradisional-konvensional, cenderung menekankan fungsi reptile yang berlebihan. Seperti belajar menghapal, meniru guru secara membuta, guru sebagai pusat kekuasaan (teacher centerd). Hal ini juga nampak pada dominasi guru yang berlebihan, pembelajar harus mengikuti rutinitas dan contoh format yang ditetapkan, dan pembelajar dianggap pelayan yang harus patuh secara pasif. Pembelajar digerakkan oleh semangat mempertahankan diri seperti takut kegagalan, nilai kecil, tidak naik kelas dan sebagainya. Proses pembelajaran seperti ini kurang memperhatikan pada perasaan dan ikatan sosial di lingkungan belajar, tanpa ada usaha membimbing pembelajar yang mengarah pada cara-cara berkreasi, cara melahirkan ide-ide cemerlang, memecahkan masalah, dan berfikir mandiri.
Memang benar, kita harus menjaga agar fungsi reptile tetap hidup dengan naluri pertahanan dirinya dan fungsi-fungsi otomatisnya. Kepatuhan pada contoh dan kebiasaan itu penting dan positif. Akan tetapi perlu diingat bahwa kita memerlukan jauh lebih banyak daripada itu agar kita dapat hidup secara sempurna, dan pemikiran kita lebih berkembang.
Kita perlu mengembangkan kecerdasan yang lain dan lebih tinggi, yaitu kecerdasan yang berpusat pada system limbic dan neokortek. Kecerdasan tingkat tinggi ini diperlukan untuk membimbing dan mengarahkan sebagian fungsi reptile agar lebih berkembang secara wajar dan normal.
Dalam keadaan bahaya, setres atau tertekan, dan terancam, otak reptile bekerja dengan cepat, jantung berdegup lebih cepat, pernapasan lebih cepat pula, perasaan negative, dan perhatiannya adalah terpusat hanya untuk menyelamatkan diri.
Pada situasi aman, bebas dari tekanan dan ancaman, otak reptile bekerja secara normal. Sedangkan dalam situasi yang sebaliknya, ia tidak dapat bekerja dengan normal. Konsentrasinya terpusat untuk menyusun strategi dalam menghadapi bahaya atau ancaman. Strategi tersebut adalah ‘melawan ancaman bahaya’, ‘menyerah dengan penuh rasa takut’, atau ‘melarikan diri’.
Agar proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan pemikiran kreatif menjadi aktif, otak reptile ini harus dikondisikan aman. Dalam kondisi aman, otak reptile mampu bekerja dengan baik dan mendukung bagian otak lain untuk belajar. Bahkan, dalam kondisi aman memungkinkan mendorong seluruh bagian otak menjadi berfungsi dan berani mengungkapkan gagasa-gagasan baru yang kreatif inovatif.
Sementara dalam kondisi terancam, otak reptile akan memberontak dengan memanfaatkan strategi ‘melawan’ atau ‘lari’. Dalam pengertian otak dipaksa belajar karena ada ancaman, belajarnya bukan sungguhan akan tetapi hanya untuk bertahan, atau ia lari dan tidak belajar sama sekali. Termasuk hal-hal yang dapat mengancam kestabilan otak reptile adalah perasaan takut baik takut pada guru, dicemoohkan, ditertawakan, dan ketakutan-ketakutan lainnya. Dalam kondisi seperti ini, otak akan berontak dengan strategi ‘melawan’ atau ‘melarikan diri’?
Al-hamdu Lillah, kita belajar bukan karena takut, seperti takut nilai kecil, tidak nai kelas, tidak lulus, atau ketakutan lain. Kita belajar karena terdorong oleh rasa ingin tahu (curiosity) yang telah melekat dan mengakar secara mendalam pada jiwa kita.
Otak Mamalia (Sistem Limbik)
Disebut otak mamalia karena mirip dengan otak mamalia berdarah panas lainnya. Letaknya berada dibagian tengah otak. Otak limbic, memainkan peran besar dalam mengendalikan emosi dan perasaan, sehingga sistem limbic ini dikenal dengan otak emosional (The Emotional Brain). System limbic sangat berfungsi dalam penyimpanan perasaan Anda, pengalaman yang menyenangkan, memori Anda, dan kemampuan belajar. Dengan system kerja yang kompleks,ia juga mengendalikan bioritme Anda, seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, detak jantung, gairah seksual, system kekebalan, dan yang lainnya.
· Hubungan Sistem Limbik dengan Belajar
Kita harus melibatkan fungsi limbic dalam pembelajaran. Emosi, sebagaimana dibenarkan oleh penelitian dan akal sehat, juga pengalaman yang melekat, sangat berpengaruh pada kualitas dan kuantitas belajar. Seperti dr. Sufyan Ramadhy dan DR.H.Dadi Permadi,M.Ed. (2001:32) mengatakan “Penelitian mutahir menunjukkan bahwa system limbic ini berperan dalam penyatuan (integrasi) pemikiran rasional dan energi emosi, yang artinya menyempurnakan proses berfikir manusia”. Hal serupa dinyatakan oleh Gardon Dryden (200:125) yang mengatakan :”Pusat emosi otak Anda juga berhubungan erat dengan system penyimpanan memori jangka panjang Anda. Itulah sebabnya kita semua dapat mengingat dengan mudah informasi apapun yang memiliki muatan emosi yang tinggi”.
Sebagai pengendali emosi, system limbic juga “memberikan kontribusi yang mendasar terhadap proses belajar. Sistem limbic melakukan peran vital dalam meneruskan informasi yang diterima ke dalam system memori”. Perasaan senang, gembira dapat mempercepat proses pembelajaran. Sebaliknya perasaan negative akan memperlambat belajar, bahkan menghentikannya sama sekali.
Perasaan positif, santai/relaks, dan terbuka akan mengubah otak pembelajar menjadi ‘naik tingkat’ ke area neokortek (otak belajar). Perasaan negative, merasa terancam, dan tertekan, pembelajar cenderung ‘turun tingkat’ ke area otak reptile dengan tujuan bukan untuk belajar sungguhan, melainkan hanya untuk bertahan. Akhirnya belajar menjadi lambat bahkan berhenti.
Perasaan atau emosi positif dapat digambarkan misalnya optimis lawan dari pesimis, sabar dan tidak jengkelan, tekun, ulet dan tidak merasa bosan. Siap menghadapi tantangan belajar, siap menyingkirkan semua rintangan dan gangguan yang mengacaukan mental dalam belajar
Pada situasi dimana Anda merasa jenuh dan membosankan, otak limbic akan bekerja dengan tidak optimal, bahkan negative, sehingga fokusnya berkonsentrasi pada hal-hal di luar yang sedang dihadapi. Sebaliknya, bila kondisi emosi positif, maka system limbic akan terpancing dan tergugah sehingga proses pembelajaran akan lebih efektif dan mendukung otak neokorteks lebih kreatif.
Untuk kepentingan belajar, usahakan system limbic ini dalam keadaan normal, dalam pengertian emosi berada dalam kondisi positif.
Otak Neokortek
Otak neokorteks atau Cortex Cerebi dikenal sebagai otak berfikir atau otak belajar (The Learning Brain). Otak ini merupakan otak tingkat tinggi dalam system otak manusia. Sesuai dengan namanya (The Learning Brain), otak ini berfungsi mengendalikan hal-hal yang bersifat rasional sehingga disebut juga sebagai otak rasional(The Rational Brain).
Otak ini merupakan lapisan terluar dari bagian otak yang menutupi otak bagian dalam yaitu system limbic.
Otak neokorteks merupakan pusat kecerdasan manusia yang tidak di miliki oleh mahluk lain. Otak inilah yang menjadikan manusia menjadi hebat, sempurna di banding dengan mahluk lain. Otak ini membuat manusia bisa belajar, berfikir, berbicara, menulis, mendengar, melihat, memecahkan masalah yang rumit, berhitung, merencanakan masa depan, mencipta, kreatif, berbudaya, dan nilai-nilai luhur lainnya.
Otak neokorteks dapat bekerja secara optimal jika didukung oleh dua lapisan otak yang lebih bawah yaitu reptile dan limbic. Neokorteks dapat berfikir secara efektif dan lebih kreatif jika emosinya senang, termotivasi, bersemangat (fungsi limbic), serta instingnya merasa aman, bebas dari ancaman, dan bebas dari stress atau tekanan (fungsi reptile). Dan sebaliknya, otak neokorteks tidak dapat bekerja secara efektif jika sistem limbic merasa jenuh dan otak reptilnya terancam dengan tekanan-tekanan.
Otak Three in One dalam Belajar
Yang penting bagi kita adalah memandang ketiga aspek otak ini bukan dari demensi lokasi fisiknya, melainkan sebagai pusat kliring untuk fungsi-fungsi husus. Tidak satupun dari ketiga pusat kliring ini yang bekerja sendiri-sendiri, semuanya mempunyai hubungan dengan pusat kliring lainnya untuk meminta bantuan guna menjalankan fungsi mereka. Di dalam otak, sepanjang waktu, terjadi pertukaran energi dan saling membantu yang berlangsung secara terus menerus. Danah Johar (SQ, 2001 :39) mengatakan bahwa :”Kita berfikir dengan jaringan saraf kompleks kita yang berjalinan diseluruh organisme kita. Jaringan-jaringan saraf merupakan bagian tak terpisahkan dari kecerdasan kita”.
Anda harus memanfaatkan seluruh otak Anda untuk belajar. Gunakan kekuatan seluruh pikiran dan seluruh diri Anda untuk belajar. Pikiran , emosi, indra, dan seluruh tubuh Anda fokuskan pada belajar. Memanfaatkan kekuatan seluruh otak (reptile, limbic, dan neokorteks) merupakan kunci yang membuat belajar lebih menarik, lebih cepat dan lebih efektif. Karena otak bekerja dalam suatu ‘sistem’ yang sangat komplek, membentuk timwork yang sangat solid, maka cara memberdayakannya juga harus secara seimbang. Anda harus meciptakan rancangan belajar alamiah, dalam pengertian sesuai dengan cara kerja otak sehingga akan membuahkan hasil yang optimal.
2. Teori Otak Kanan dan Otak Kiri
Ketiga lapisan otak (Three in One) manusia terdiri dari dua bagian, belahan otak kanan dan otak kiri. Masing-masing memiliki spesialisasi fungsi meskipun tetap melakukan jalinan ineraksi dan kejasama yang solid di antara keduanya.
Otak kiri memainkan peran dalam pemrosesan hal-hal yang bersifat ‘akademis’ dan logis seperti logika, matematika, kata-kata. Model berfikirnya urut, linear dan rasional. Dengan mengoptimalkan otak belahan kiri, manusia mampu menyelesaikan perhitungan yang rumit sekalipun, mampu menyusun silogisme sebagai alat untuk menarik kesimpulan.
Sedangkan otak kanan berurusan dengan aktivitas ‘kreatif’ yang berkaitan dengan irama, rima, musik, gambar, dan imaginasi. Model berfikirnya acak, tidak teratur, holistik, intuitif, dan imaginative. Kemampuan otak kanan, mendorong manusia untuk lebih kreatif mencari altrenatif dalam menyelesaikan masalah, mampu berfikir intuitif dan melakukan imajinasi atau visualisasi (membuat bayangan dalam bentuk gambaran mental).
Kedua belahan otak kiri dan kanan dihubungkan oleh suatu system jaringan yang disebut corpus collasum yang merupakan system saklar yang sangat rumit dengan melibatkan ratusan juta ‘kabel’ neuron aktifnya. Secara fisiologis, corpus collasum ini berfungsi sebagai mediator pengiriman informasi antara kedua belahan otak. Melalui mediator tersebut, kedua belahan otak dapat melakukan kerja sama dalam pengiriman informasi, kolaborasi, dan integrasi. Sebagai mediator, ia secara constant menyeimbangkan pesan-pesan yang datang, menggabungkan gambar-gambar yang abstrak dan holistic dengan pesan-pesan yang konkrit dan logis.
Contoh sederhana bagaimana kedua belahan otak yang berbeda dapat bekerja sama secara harmonis dan terpadu, adalah ketika Anda sedang asyik mendengarkan sebuah lagu kenangan. Otak sebelah kiri akan memproses syairnya, karena ia berbentuk kata-kata. Sedang otak kanan memproses musik, rima dan iramanya.
Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, pelopor Super Camp dalam ‘Quantum Learning’ (1999:38) mengatakan “Kedua belahan otak penting artinya, orang yang memanfaatkan kedua belahan otak ini juga cenderung ‘seimbang’ dalam setiap aspek kehidupan mereka. Belajar terasa sangat mudah bagi mereka karena mereka punya pilihan untuk menggunakan bagian otak yang diperlukan dalam setiap pekerjaan yang sedang dihadapi. Sebagian besar komunikasi diungkapkan dalam bentuk verbal atau tertulis, yang keduanya merupakan spesialisasi otak kiri, bedang-bidang pendidikan, bisnis, dan sains cenderung berat ke otak kiri. Sesungguhnya, jika Anda termasuk kategori otak kiri dan Anda tidak melakukan upaya tertentu memasukkan beberapa aktivitas otak kanan dalam hidup Anda, ketidak seimbangan yang dihasilkannya dapat mengakibatkan Anda stress dan juga kesehatan mental dan fisik yang buruk.
Untuk menyeimbangkan kecenderungan masyarakat terhadap otak kiri, perlu dimasukkan musik dan estetika dalam pengalaman belajar Anda. Semua itu menimbulkan emosi positif, yang membuat otak Anda lebih efektif”.
Bila kita sedang serius belajar matematika, yang tentunya dengan menggunakan otak belahan kiri, kadang-kadang otak kanan suka menggangu dengan kemampuan imaginasinya. Sehingga otak kanan memikirkan atau menghayal hal-hal lain diluar yang dihadapi. Jika aktivitas otak kanan ini tidak disalurkan maka ia akan terus menggangu otak kiri untuk bekerja. Untuk menyeimbangkan kerja otak belahan kanan tersebut dirangsang dengan mendengarkan musik kelasik tertentu, sehingga kedua belahan otak sama-sama bekerja. Bahkan dalam teori pengelolaan pembelajaran modern, seperti Quantum Learning, Accelerated Learning, Super Learning, Revolusi of Learning, dan yang lainnya ‘penggunaan musik kelasik tertentu’ sebagai background, sangat dianjurkan dalam proses pembelajaran.
“Musik mempengaruhi perasaan. Dan perasaan mempengaruhi pembelajaran. Jenis musik yang tepat cenderung mengendurkan sekaligus menggugah otak dan seluruh system saraf. Jadi, musik yang dimanpaatkan secara tepat dapat mengaktifkan kemampuan total mereka lebih banyak karena mereka mengerahkan pikiran sepenuhnya untuk belajar”. (Dave Meier, The Accellerated Learning, 2002:175-177)
Tentang musik dapat mempengaruhi emosi secara positif, ternyata bukan mereka saja yang menganjurkan, hingga tokoh sufi sekalipun, seperti Imam Gojali menyatakan bahwa musik tertentu dapat menggerakkan hati. Dalam Ikhtisar Ihya Ulumiddin (2002:169), terdapat sebuah judul “sama` dan Al-Wajd”, artinya mendengarkan musik dan menemukan sesuatu. “Kami katakan, sama` adalah mendengar suara yang baik yang berirama, difahami maknanya, dan sebagai penggerak kalbu”. Dalam halaman lain (2002:172) beliau melanjutkan “Jadi, sama` memiliki pengaruh yang aneh (menakjubkan-pen). Siapa yang tidak tergerakkan oleh sama`, maka ia kurang akal, kurang normal, dan jauh dari ruhani”.
Mengenal Diri dan Prestasi
“Orang akan meraih prestasi paling besar,
manakala ia sukses mengenali dirinya”
( Sayidina Ali, Tafsir Mizan, 6:173)
“Orang yang memiliki pengetahuan alam semesta,
tetapi tidak mengenal dirinya sendiri sama saja dengan tidak tahu apa-apa"
(Jean De La Fontaine, 1679; dalam ‘Ledakan EQ’, 2002:73)
1. Memahami Konsep Diri
Self-concept (konsep diri) merupakan tema utama dari filsafat humanistic, yang dapat dilacak sampai William James yang membedakan aku sebagai The I, dan aku sebagai The Me. (Jalaludin Rakhmat, 2000: 99). Aku sebagai The I adalah diriku sebagai peneliti yang sadar dan aktif dalam meneliti dan mencari ilmu. Sedang aku sebagai The Me adalah diriku ketika menjadi objek untuk diteliti dan difahami. Hal ini memeiliki arti bahwa manusia sedang berusaha memahami manusia itu sendiri.
Yang paling mengasyikkan dan paling seru adalah ketika The I dan The Me berpadu dalam diri saya, ini berarti bahwa ‘saya sedang belajar memahami diri saya sendiri’.
Ketika kita memahami diri sendiri, kita mulai memberikan gambaran dan penilaian tentang diri sendiri. Berikut ini dialog batin yang terjadi ketika kita berusaha memahami diri sendiri :
“Bila saya pikir secara mendalam, sebenarnya saya ini pandai. ….pandai, sekali lagi pandai. Betul, saya ini adalah orang pandai. Orang lain boleh ragu mengenai hal ini, tapi untuk sementara biarkanlah tak perlu banyak orang tahu. Bukan saatnya orang lain tahu tentang kepandaian yang saya miliki. Tunggu tanggal mainnya, akan saya buktikan”. Yang paling penting, saya suka pada diri saya sendiri, dan saya sangat menyukainya.”
Ketika Anda memberikan gambaran dan penilaian tentang diri Anda sendiri, saat itulah Anda memasuki pembicaraan mengenai self-concept (konsep diri).
Konsep diri (self-concept) adalah pandangan pribadi yang menyeluruh mengenai diri sendiri. Ia merupakan cara pandang internal yang berkaitan dengan kemampuan pribadi (personal competence). Anita Taylor et all. mendefinisikan konsep diri sebagai berikut :
“all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitude you hold about you self”. (Jalaludin Rakhmat, 200:100)
Konsep diri adalah :“semua yang Anda fikirkan dan Anda rasakan tentang diri Anda sendiri. Segala sesuatu yang kompleks mengenai keyakinan dan sikap Anda tentang diri Anda”.
Melihat definisi di atas, terdapat dua komponen konsep diri : Pertama, komponen kognitif, dan kedua komponen affektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri (self-image), dan komponen affektif disebut harga diri (self-esteem).
Self-image (Citra Diri) :
Komponen kognitif (citra diri), berkaitan dengan pandangan tentang siapa diri Anda yang sebenarnya. Citra diri, berkaitan dengan bagaimana Anda menggambarkan dalam benak tentang diri Anda sendiri. Misalnya : ’saya ini pandai”, “saya pasti bisa”.
Kita harus menyadari bahwa kehidupan seseorang sangat dipengaruhi oleh caranya ia membentuk citra diri bagi dirinya sendiri. Bila ia memiliki gambaran mental tentang dirinya (self image) secara negative, maka gambaran negative inilah yang akan terwujud. Citra diri negative akan mempengaruhi kekuatan potensi diri yang ada, bahkan dapat melumpuhkan berbagai kecerdasan yang dimilikinya. Sebaliknya , bila ia membentuk citra positif tentang dirinya, maka kekuatan pencitraan yang positif ini akan mempengaruhi jiwa dan pikirannya secara positif pula. Sehingga citra diri yang positif akan menjadi energi penggerak berbagai kecerdasan dalam diri untuk mewujudkan apa yang ada dalam fikirannya.
Anda adalah apa yang ada dalam citra diri Anda sendiri. Bila Anda membangun citra negative dalam diri sendiri, maka hilanglah rasa kepercayaan diri, tumbang pula semangat untuk meraih prestasi (achievement). Ungkapan : ‘saya ini bodoh’, ‘saya ini orang gagal’, ‘saya tidak mampu’, ‘saya ini jelek’, dan lain sebagainya merupakan citra diri negative yang dibangun oleh Anda sendiri. Dan pada ahirnya “Apa yang Anda pikirkan akan menjadi kenyataan”, kata Bobbi DePoter dalam Quantum Learning.
Anda memiliki citra diri positif, jika Anda berfikir dan berkata pada diri Anda sendiri bahwa ‘saya ini bisa’, .saya mampu’, ‘saya akan sukses’, dan lain sebagainya. Citra positif, akan membimbing Anda menjadi percaya diri untuk melakukan suatu tindakan, dan selalu termotivasi untuk meraih kesuksesan. “Jika Anda berfikir bahwa Anda bisa atau tidak bisa., Anda benar”, kata Henry Ford yang dikutif Gordon (2000:272). Maksudnya, bila Anda berfikir bahwa Anda bisa dan mampu untuk melakukan sesuatu, maka Anda benar akan ‘bisa’ dan ‘mampu’ melakukannya. Sebaliknya, bila Anda berfikir bahwa Anda ‘tidak bisa’ atau ‘tidak mampu’, maka Anda pun benar sehingga Anda menjadi ‘tidak mampu’ dan ‘tidak bisa’ melakukannya. Anda adalah apa yang Anda citrakan pada diri Anda sendiri.
Dalam dunia pendidikan modern, ‘citra diri’ mejadi sorotan utama untuk dikaji dan diterapkan dalam proses pembelajaran. Para praktisi Accelerated Learning, Quantum Learning, The Revolution of Learning, dengan berbagai Super Camp-nya, ‘citra diri’ menjadi asumsi utama dalam meningkatkan pembejaran yang cepat dan efektif. Gordon Dryden (200:107) menjelaskan bahwa “Dalam setiap system yang terbukti berhasil –yang kami pelajari di seluruh dunia- citra diri ternyata lebih penting daripada materi pelajaran”.
“Semua perbaikan dalam hidup Anda akan dimulai dari perbaikan dalam gambaran mental Anda. Imej internal Anda akan mempengaruhi berbagai emosi, perilaku, sikap Anda, dan bahkan juga bagaimana orang lain berinteraksi dengan Anda. Pengembangan self-image yang positif menjadi bagian yang sangat penting dalam mengubah cara berfikir Anda dan kemudian dalam mengubah hidup Anda.” Brian Tracy (2005:50)
Al-hamdu Lillah, Yes, I Can
If you think are beaten, you are
If you think you dare not, you don`t
If you like to win, but thik you can`t
It`s almost certain you won`t
If you think you`ll lose, you`re lost
For out in the world we find
Success begins with a fellow`s will
It`s all in the state of mind
If you think you are outclassed, you are
You`ve got to think high to rise
You`ve got to be sure of yourself before
You can ever win a prize
Life`s battles don’t always go
To the stronger or faster man
But sooner or later, the person who wins
Is the one who think and say : Yes I Can !
Alhamdu Lillah, Aku Bisaaa !
Bila Anda berfikir Anda kalah, Ya Anda kalah
Bila Anda berfikir Anda tidak berani, ya Anda tidak berani
Bila Anda ingin menang, tapi berfikir bakal tidak menang
Hampir dipastikan Anda bakal tidak menang
Bila Anda berfikir Anda bakal gagal, sesungguhnya Anda telah gagal
Sebab di dunia telah kami temukan
Bahwa sukses dimulai dengan keinginan seseorang
Semuanya itu masalah cara berfikir
Bila Anda berfikir Anda disisihkan, ya Anda tersisihkan
Anda harus berfikir tinggi untuk menjulang
Terlebih dahulu Anda harus yakin pada diri sendiri
Sebelum Anda mendapatkan piala
Perjuangan dalam hidup ini tidak selamnyadimenangkan
Oleh mereka mereka yang kuat dan cepat
Tetapi cepat atau lambat, orang yang menang itu
Adalah mereka yang berfikir dan berkata : Ya, aku bisa… !
Self-esteem (Harga Diri) :
Penghargaan diri (self esteem), menyoal apakah Anda menyukai diri Anda sendiri, atau sebaliknya ? Menurut Steven J. Stein, Phd. (2002:115) “Penghargaan diri merupakan kemampuan untuk menghormati dan menerima diri sendiri sebagai pribadi yang pada dasarnya baik”. Menurut definisi ini, penghargaan diri terdiri dari menghormati diri, mengakui dan menerima diri sebagai mana adanya, mensyukuri atas segala kelebihan diri, dan segera memperbaiki berbagai kelemahan.
Hubungannya dengan dunia pendidikan, self esteem menjadi asumsi dasar Quantum Learning ala Bobbi DePorter. Menurutnya, semangat belajar seseorang akan meningkat bila memiliki self esteem yang tinggi. Bobbi DePorter berasumsi bahwa siswa yang memiliki self esteem yang positif, dapat belajar dengan cepat dan efektif, sehingga meraih prestasi tinggi. Sehingga dia mengatakan (1999:8) :Dan kami yakin bahwa kehormatan diri yang tinggi adalah material penting dalam pelajar yang sehat dan bahagia”. Banyak cara untuk memproleh keberhasilan dalam kehidupan, banyak jalan untuk sukses dalam belajar, dan banyak pula gagasan untuk melakukan perubahan. “Akan tetapi yang paling penting : setiap perubahan arah pendidikan yang positif yang telah kami teliti di seluruh dunia selalu dimulai dari penghargaan diri –atau citra diri”, kata Gordon Dryden (2003 :281)
Self-esteem (harga diri) merupakan inti reactor kepribadian Anda. Self-esteem adalah sumber energi yang menentukan tingkat percaya diri (self-confidence) dan antusiasme Anda. Semakin Anda menyukai diri sendiri, semakin mencintai profesi sendiri, semakin menyukai identitas diri sendiri, semakin tinggi pula menentukan sasaran hidup yang lebih besar dan Anda cenderung lama untuk bertahan dalam memperjuangkan pencapaian sasaran hidup tadi. Maksud yang lebih lugas, adalah bahwa orang yang memilki self-esteem yang tinggi, ketika potensinya dikembangkan maka kemampuan dan kreativitasnya nyaris tak dapat dibendung.
2. Konsep Diri dan Pengembangan Potensi Diri
Mungkin teobosan terbesar yang pernah ditemukan orang dalam bidang potensi manusia pada abad ke-20 adalah ditemukannya self-consept. Seperti dikatakan Brian Tracy (2005:40), teori ini mengatakan bahwa “setiap orang akan mengembangkan berbagai keyakinan tentang dirinya sendiri dimulai sejak lahir”. Kemudian ia melanjutkan : “Self-consept Anda kemudian akan menjadi program master yang menggerakkan computer bawah sadar Anda, menentukan apa saja yang Anda pikirkan, yang Anda katakan, yang Anda rasakan, dan yang Anda lakukan. Oleh karena itulah, semua perubahan yang terjadi pada kehidupan lahiriah Anda dimulai dari perubahan self-consept Anda.”
“Segala apa yang Anda pikirkan tentang diri Anda, semua apa yang Anda yakini dan Anda rasakan tentang diri Anda, akan terekam dalam hard-drive kepribadian Anda. Hukum korespondensi membuat tingkah laku nyata Anda, akan selalu konsisten dengan self-consept yang terdapat di dalam diri Anda. Oleh karena itu , segala perkembangan yang terjadi dalam kehidupan Anda harus dimulai dari perkembangan di dalam self-consept Anda” (2005:45). Inilah yang beliau maksud dengan change your thinking, change your life.
Selain citra-diri dan harga-diri, Brian Tracy (2005:48) menambahkan bagian dari konsep diri, yaitu self-ideal. Self-ideal terdiri dari semua harapan, visi dan misi, serta idaman Anda. Self-ideal terbentuk dari kebaikan, nilai-nilai, prestasi dan sifat-sifat yang paling Anda kagumi. Self-ideal adalah sosok seperti apa yang Anda inginkan. Self-ideal Anda akan secara terus menerus mengingatkan Anda bahwa Anda sebenarnya dapat menjadi orang yang lebih baik daripada yang ditunjukkan sekarang.
Self-ideal bertentangan dengan Ketidakberdayaan yang dipelajari. Menutur Paul G. Stoltz (2005:75-80), ketidakberdayaan yang dipelajari “merupakan hambatan definitif bagi pemberdayaan”. Lalu apa yang dimaksud dengan ketidakberdayaan yang dipelajari itu ? Ketidakberdayaan yang dipelajari adalah sikap “menginternalisasi keyakinan bahwa apa yang Anda kerjakan tidak ada manfaatnya”. Gambaran verbal dari ketidakberdayaan yang dipelajari, misalnya : ‘Tidak ada gunanya lagi saya belajar seperti itu’, ‘hal ini pasti buat saya tidak berguna’, ‘buat apa belajar lagi, cukup saja seperti ini’. Ketidakberdayaan yang dipelajari membuat orang mencukupkan diri pada prestasi yang diraihnya, dan terbatas hanya sampai disitu. Padahal, jika dikembangkan lagi, secara potensial, besar kemungkinan prestasinya akan bertambah.
Self-ideal, selalu membimbing agar terus menerus dapat mengembangkan potensi yang Anda miliki. Sekali lagi, self-ideal Anda akan secara terus menerus mengingatkan Anda bahwa Anda sebenarnya dapat menjadi orang yang lebih baik daripada yang ditunjukkan sekarang.
Change Your thinking, change your life
When you change your thinking (perubahan cara berfikir)
you change your beliefs (perubahan keyakinan)
When you change your beliefs
you change your expectations (perubahan harapan)
When you change your expectations
you change your attitude (perubahan sikap)
When you change your attitude
you change your behavior (perubahan tingkah laku)
When you change your behavior
you change your performance (perubahan kinerja)
When you change your performance
You change your destiny (perubahan ‘nasib’)
When you change your destiny
You change your life (perubahan kehidupan)
Konsep Diri yang Negatif
Mneurut Brian Tracy, :”Kepercayaan yang terburuk yang mungkin dapat Anda miliki adalah kepercayaan-kepercayaan yang bersifat self-limiting belief.” (2005:47). Self-limiting belief adalah kepercayaan yang membatasi diri. Kepercayaan yang termasuk jenis ini adalah apa saja yang Anda yakini bahwa Anda serba terbatas, terkungkung dalam ketidak berdayaan, merasa tidak mampu, tak kuasa, banyak gagal, dan jenis-jenis keterbatasan lainnya. Kepercayaan-kepercayaan ini jarang mengandung kebnaran. Namun, bila Anda menganggapnya sebagai sesuatu yang serius dan sebagai kebenaran yang lahir dari fikiran utama Anda, maka kepercayaan itulah yang akan menjadi kenyataan bagi Anda.
Kriteria orang yang memiliki konsep diri negative antara lain sebagai berikut :
a. Tidak memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang dirinya. Ia kurang memahami siapa dirinya, apa kelebihan dan kekurang yang ada padanya.
b. Memiliki pandangan dirinya yang terlalu kaku sehingga sulit untuk berubah. Ia bersikap defend, menutup diri, sulit untuk mengubah konsep diri, karena konsep diri yang dibangunnya sudah di anggap mapan dan benar
c. Lebih banyak menlihat kelemahan/kekurangan diri ketimbang kekuatan dan kelebihan yang dimiliki.
Konsep Diri yang Positif
Seseorang memiliki konsep diri poritif bila memiliki criteria sebagai berikut :
a. Memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang dirinya, memahami kekuatan-kekuatan potensi diri yang dimilikinya
b. Menghormati, menerima diri apa adanya, tidak sombong dengan kelebihan, terus berusaha mengembangkan kelebihan. Tidak merasa rendah diri dan kecewa dengan adanya kekurangan, sembari tetap berusaha memperbaikinya
c. Bersikap opensif, memiliki kesadaran tinggi untuk selalu melakukan perubahan.
Pengetahuan tentang diri secara menyeluruh, akan mengarahkan kita untuk bersikap opensif, berjiwa besar dan berpikir positif, dengan kata lain akan memiliki konsep diri yang positif. Konsep diri yang positif, dapat diperluas dengan kepemilikan berbagai kemampuan :
· Adaptasi yang tinggi, keluwesan dalam menghadapi berbagai kondisi yang selalu mengalami perubahan.
· Inovasi, mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan dan informasi baru, dengan tetap menjaga kestabilan diri serta memiliki tanggungjawab dan komitmen yang kuat atas diri pribadi.
· Inisiatif, kesiapan untuk selalu memanfaatkan kesempatan dengan baik untuk meraih keberhasilan.
· Optimisme, kegigihan dalam memperjuangkan cita-cita, memiliki komitmen (keteguhan) dengan cita-cita tersebut disertai dengan ketangguhan dalam perjuanagan meraih cita-cita.
· Mental juara (achievement), dorongan kuat untuk berprestasi sehingga terus berpacu untuk menjadi lebih baik dalam memenuhi standar keberhasilan.
3. Mengenal Diri untuk Meraih Pretasi
Lalu apa hubungan semua ini dengan prestasi ? Anda mampu mengetahui tentang jati diri yang Anda miliki; mampu menghargai diri dengan menghormati diri apa adanya; mampu mensyukuri kelebihan dan memperbaiki kekurangan, itulah sebuah prestasi. Prestasi ini akan menjadi fondasi bagi bangunan prestasi-prestasi lain yang segera akan menyusul berikutnya. Saya sangat yakin atas pernyataan Sayidina Ali kw. seperti dikutip di atas bahwa : “Orang akan meraih prestasi paling besar, manakala ia sukses mengenali dirinya” ( Tafsir Mizan, 6:173)
Mengenal diri, baik melalui pendekatak religi (agama) maupun psikologi, akan mengantarkan kita kepada pemahaman emosi dan konsep diri. Mengenal diri menjadi syarat utama menuju kepada kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi inilah yang menjadi pondasi pembentukan konsep diri yang positif. Steven J. Stein, Phd. (2002:115) menegaskan “Pengetahuan adalah kekuatan- dan pengetahuan diri adalah kekuatan terbaik untuk mewujudkan keberhasilan dalam mengendalikan emosi”.
Tingkat pemahaman seseorang tentang dirinya, akan mempengaruhi pada pemahaman emosi dan konsep diri. Konsep diri positif dan kondisi emosi positif, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil riset para ahli, akan mememberikan sumbangan besar dalam meraih prestasi yang memuaskan, baik prestasi akademik maupun non akademik.
Dalam dunia pendidikan, emosi sangat berpengaruh atas proses pembelajaran. Emosi negative akan mempengaruhi kerja otak neokortek (otak belajar) menjadi turun bahkan berhenti. Dan sebaliknya, emosi positif akan mempengaruhi kerja otak neokortek untuk aktif dalam belajar dan bahkan lebih kreatif secara tak terduga.
Dengan uraian singkat di atas, secara teoritis memberikan penjelasan bahwa pengetahuan diri sangat membantu dalam mengantarkan seseorang pada tingkat kesadaran. Kesadaran kemanusiaan, kesadaran jati-diri, dan kesadaran emosi. Memahami kesadaran (kemanusiaan, jati-diri, dan emosi) secara benar sangat berpengaruh pada pembentukan konsep diri. Konsep diri yang positif akan meningkatkan rasa percaya diri (self-confidence). Suatu tindakan (belajar atau bekerja) yang disertai dengan percaya diri akan menghasilkan prestasi yang optimal.
Bila tidak mengenal diri, ilmu segudang apapun menjadi tidak bermakna. Sekedar untuk mempertegas, kutipan di atas akan dituliskan kembali di sini, bahwa “Orang yang memiliki pengetahuan alam semesta, tetapi tidak mengenal dirinya sendiri sama saja dengan tidak tahu apa-apa".
Mahatma Ghandi (1869-1948) dalam bukunya ‘My Religion’ sebagamana dikutip oleh Dr. Ali Syari`ati (1990:156) mengatakan: “Ada relitas tunggal di seluruh dunia ini, yaitu pengetahuan tentang diri. Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal pula Tuhan dan segala ciptaan-Nya. Siapa yang tidak punya pengetahuan semacam itu, ia tidak mempunyai pengetahuan apa-apa. Dunia ini hanya ada satu kekuatan, satu jenis kemerdekaan, dan satu bentuk keadilan, yaitu kuasa untuk mengendalikan diri. Siapa yang mampu menguasai dirinya, akan mampu menguasai dunia”.
Orang dianggap tidak memliki kearipan, keadilan, kemerdekaan, bahkan pengetahuan, manakala ia tidak memiliki pengetahuan diri yang memadai. Dan seseorang tidak akan mampu membimbing orang lain, bila ia tidak mampu mengenali dan menguasai dirinya sendiri. Orang tidak akan mampu melakukan perubahan apapun jika ia tidak mampu melakukan perubahan sikap mental dirinya sendiri.
Dalam Al-Quran (13:11) Allah SWT telah mengingatkan kita bahwa “Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa-apa yang terdapat dalam diri mereka sendiri”. Banyak hal dan misteri mengenai ‘apa-apa yang terdapat dalam diri’. Paling tidak, adalah sikap mental yang menghimpun nilai-nilai yang dihayati, gagasan-gagasan cemerlang, dan iradah atau kehendak untuk mewjudkan berbagai gagasan positif.
Alur hubungan antara mengenal diri dan prestasi, secara garis besar dapat disimpulkan pada diagram alir berikut :
Mengenal diri melalui Pendekatan Agama (Religi) dan Psikologi, menghhasilkan:
· Kesdaran Kemanusiaan
· Kesadaran jati-diri
· Kesdaran Emosi
Dari ketiga domain di atas terbentuklah Konsep Diri (self-consept) dan Percaya Diri
(self-conpidence) yang pada titik puncaknya mewujudkan Revolusi Diri dan Prestasi
Dengan memahami diri, mengenal pula tentang konsep diri. Konsep diri meniscayakan untuk segera manyadari dan menghargai diri. Penghargaan diri (self esteem) yang tinggi membangkitkan semangat berprestasi. Dengan modal anugerah Tuhan dalam bentuk berbagai kecerdasan, manusia mampu mengelola potensi dirinya, mampu memanfaatkan fungsi-fungsi mentalnya, sehingga terjadilah suatu ledakan yang menakjubkan, revolusi diri. Bom revolusi diri menguak berbagai kecerdasan yang masih tersembunyi dan misteri. Bias revolusi diri merambat ke dalam setiap elemen kehidupan manusiawi. Kini hijab diri tersingkap, berbagai kecerdasan telah nampak, sebahagian besar misteri diri menjadi terungkap.
Dengan semangat revolusi diri, semuanya akan mengalami peberubahan yang dahsyat. Prestasi yang diraih bukan saja ilmu pengetahuan husuli (ilmu yang dicari), bahkan ilmu hudhuri (ilmu laduni, ilmu yang hadir sendiri) bila memiliki ‘hati nurani’ yang suci. Hati nurani yang suci selalu merindukan ilmu, dan kerinduan pada ilmu merupakan ciri khas bagi kelompok ‘pembelajar sejati’.
BERSYUKUR DENGAN BELAJAR
1. Memahami Kesempurnaan Diri
Sebagai mana Tuhan telah berfirman (QS. 20:365) bahwa “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
At-Taqwim, ahir ayat di atas, adalah menjadikan sesuatu memiliki penopang. Penopang adalah yang membuat sesuatu menjadi tegak dan tetap sehingga menjadi seimbang. Attaqwim dapat diartikan ‘keseimbangan’. Seimbang dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk psikhis yang merupakan sisi batiniah manusia. Mufassir kontemporer, Thaba Thaba`i (Mizan 20:365) menyimpulkan bahwa manusia diciptakan dengan “kesempurnaan yang universal, baik dalam seluruh sistem maupun dalam berbagai dimensi wujudnya”.
Manusia diciptakan dengan memiliki keseimbangan sistem-sistem yang ada di dalamnya, baik sistem biologis (pisik) maupun sistem psikis (ruhani/mental). Wujud manusia diciptakan dengan sempurna, baik wujud fisik maupun wujud mental dan ruhani. Sistem yang berada pada tubuh, begitu serasi, indah dan nyaman sehinggga kita dapat merasakan berbagai nikmat dari fungsi-fungsi organ tubuh tersebut. Bila ada salah satu bagian organ tubuh kita yang fungsinya tidak berjalan secara normal, secara otomatis tubuh yang lain akan merasakannya. Lebih-lebih ketidak normalan itu menyerang fungsi-fungsi oragan vital seperti jantung, syaraf otak, ginjal, hati, dan organ vital lain.
Contoh yang sangat sederhana, adalah system pembersihan darah yang dikerjakan oleh ginjal. Jika ginjal Anda tidak berfungsi, Anda harus melakukan proses cuci darah secara medis, paling tidak seminggu sekali dengan biaya yang sangat mahal. Mari nikmati secara mendalam, Allah menciptakan alat pembersih darah dengan organ tubuh bernama ginjal dengan sistem yang sangat menakjubkan. Anda tidak perlu ke Dokter, juga tidak perlu mengeluarkan biaya sedikitpun. Begitu juga dengan system-sistem tubuh yang lain misalnya; system pencernaan, pernafasan, peredaran darah, dan yang lainnya.
Keseimbangan system tersebut juga terdapat pada sistem yang terkait dengan aktivitas mental kita. Allah telah menciptakan system mental dan ruhani yang sempurna dan seimbang. Istilah keseimbangan dan kesempurnaan sistem mental atau ruhani, para ahli psikiter menyebutnya ‘kesehatan mental’. Ketika membicarakan kesehatan mental, Dr. Zakiiah Daradjat, dalam bukunya Kesehatan Mental (1985:13) mengungkapkan “Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya”. Menurut depinisi ini, Jiwa yang normal (seimbang) adalah adanya keharmonisan antara fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi setiap problem kehidupan dan adanya kemampuan beradpatasi dengan setiap situasi kehidupan, sehingga jiwa tetap stabil berada pada kandisi normalnya. Keharmonisan batin dapat terwujud bila fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup masing-masing memberikan kontribusi imbang dan bekerja secara sinergis.
Bila ada system mental atau system ruhani yang mengalami ketidakseimbangan, maka kita akan mengalami gangguan kejiwaan (neurose) bahkan dapat menimbulkan penyakit jiwa (psychose).. Mekanisme keseimbangan mental dan ruhani, kebanyakan masih merupakan misteri, sebahagian sudah dapat diditeksi itupun hanya sedikit para ahli yang mengetahui. Seperti mekanisme kerja otak reptil, yang menyalurkan rasa lapar ke organ tubuh yang ada di bagian perut, atau sistem limbik dengan perasaan kecewa, gembira, senang, rindu, benci, marah, atau emosi lainnya yang dapat dirasakan oleh hati, hanya para ahli yang tahu. Kita yang awam , mungkin hanya dapat merasakan gejalanya.
Sekedar contoh yang sangat sederhana, jika kita menyelesaikan tugas dengan baik dan penuh tanggungjawab menimbulkan perasaan puas dan menyenangkan. Begitu juga sikap jujur, benar, dan sikap adil melahirkan persaan tenang, mantap, dan percaya diri. Dan sebaliknya perbuatan keji, berbohong, dosa, berbuat dzalim mengakibatkan perasaan bimbang, takut, gelisah, dan perasaan bersalah. Pada saat kita berbohong, hati menjadi tidak tenang, dan jantungpun ikut berdebar. Penyakit hasud, dengki, takabur, menghianati dan mendzalimi orang, selain menimbulkan gangguan kejiwaan, juga -menurut sebahagian para ahl- akan menimbulkan penyakit jantung atau darah tinggi pada penderita psikosomatis ( penyakit fisik akibat ruhani yang sakit ). Semua ungkapan di atas hanya melambangkan sebagian dari gejala jiwa atau ruhani yang seimbang dang yang tidak seimbang, gejala jiwa yang normal dan tidak normal, jiwa yang sehat dan jiwa yang mengalami gangguan.
Fungsi hati yang bisa sedih, gembira, senang, cinta, rindu, kecewa, prustasi, dan lain sebagainya, kadang teraktualisasi pada yang bukan tempatnya. Cepat marah karena hal-hal spele, atau tidak pernah marah meskipun diganggu dengan sangat, inipun melambangkan jiwa yang kurang normal. Fungsi fu`ad ( otak dan hati) yang biasa senang belajar, berfikir, merenung, berubah menjadi beban mental, kemalasan kerumitan, dan keruwetan, hali ini pun melambangkan jiwa yang mengalami ganguan.
Kita harus berusaha agar sistem mental atau ruhani ini tetap seimbang dan berjalan sesuai dengan fungsi normalnya. Mental dan ruhani dianggap menempati kondisi normal dan dalam sistem yang seimbang, bila pengelolaan dan pengendalian fungsi-fungsi jiwa sesuai dengan fitrah suci yang tertanam dalam hati nurani. Hal ini dapat dicapai, menurut Dr. Zakiah Daradjat (1985:13) “dengan keyakinan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan norma-norma sosial, hukum, moral, dan sebagainya”.
Allah swt yang menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan, Allah pula yang membimbing manusia menuju kesempurnaan. Allah menurunkan aturan yang sempurna untuk menjaga keseimbangan sistem-sistem yang ada. Untuk memelihara keseimbangan dan kesempurnaan sistem-sistem itu, kita harus kembali kepada Allah swt. yang menciptakannya. Muhammad Rasyid Ridaha (Al-Manar, I:51) “Pengelolaan, pengaturan, dan bimbingan Allah kepada manusia nampak dalam dua bentuk pengelolaan. Pertama, pengelolaan yang berkaitan dengan penciptaan, seperti pertumbuhan dan perkembangan fisik manusia beserta perkembangan kekuatan jiwa dan inteleknya. Kedua, pengelolaan melalui pendidikan disiplin syari`at yang berupa wahyu yang diberikan kepada salah seorang di antara mereka (nabi-pen.) untuk mengembangkan kesempurnaan fitrah suci mereka”. Kita harus kembali kepada kesempurnaan fitrah diri dengan kembali kepada Allah SWT. demi tercapainya pemahaman dan aktualisasi diri yang sempurna.
2. Memahami Kesiapan Potensi Belajar
Mari kita merenungkan firman Allah SWT. yang terdapat dalam al-Quran surat an-Nahl (QS.16:78), Dia berfirman : “Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Kemudian Dia menjadikan buat kamu pendengaran, penglihatan dan af`idah agar kamu bersyukur”.
Dalam tempat lain Allah swt memberikan pernyataan yang hampir sama dengan ayat di atas, namun ada perbedaan secara mencolok . Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur`an seperti pada surat 23:78, 32:9, dan 67:23. Pernyataan yang memiliki kesamaan pada ayat-ayat itu adalah bahwa Allah “menjadikan penglihatan, pendengaran, dan al-af`idah”. Perbedaan mencoloknya adalah terletak di ahir ayat. Pada satu ayat yang dikutip di atas diahiri dengan harapan “agar kalian bersyukur”, sementara pada kebanyakan ayat lainnya diahiri dengan pernyataan “sedikit sekali yang bersyukur”.
Masih terdapat satu ayat (17:36) yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, potensi berfikir dan belajar, dilengkapi dengan pertanggungjawaban. Terjemahan ayat tersebut kurang lebih sebagai berikut : “ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan fu`ad semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban”.
Sebelum menarik kesimpulan dari ayat yang dikutip di atas pada awal tulisan ini, terlebih dahulu akan di bahas makna harfiah dari sebagian yang menjadi kata kunci pada ayat tersebut. Misalnya kata ‘al-af`idah’. Al-Af`idah adalah bentuk jamak dari kata fu`ad. Menurut Thaba Thaba`i (Mizan, 12:312) berarti “hati dan otak (lubb)”. Lubb berarti otak , intelek, atau kecerdasan. Sedangkan dalam tempat lain (Mizan, 19:380) beliau mengatakan bahwa “Fu`ad adalah jiwa berfikir”. Beliau juga (Mizan,15:54) menyebutnya sebagai “prinsip berfikir manusia”. Kalau saya harus menyimpulkan, maka saya berpendapat bahwa : fu`ad adalah paduan antara hati dan intelek (kecerdasan otak) sebagai potensi berfikir manusia. Keterpaduan itu dapat dilihat dalam hubungan yang terjalin antara kerja otak dan emosi sebagai fungsi hati. Dalam al-Qur`an pun terdapat isyarat yang menyatakan qolb (hati) yang dapat memahami dan memikirkan, yang secara fisiologis merupakan kerja otak.
Bagi para filosuf, husunya filsafat ilmu, ayat ini menjadi titik pusat kontroversi tentang epistemology. Mereka berbeda pendapat tentang asal mula ilmu pengetahuan manusia. Ada yang mengatakan bahwa manusia telah memiliki berbagai pengetahuan (realitas) ketika ia masih berada di alam ide. Baginya, belajar adalah mengingat kembali pengetahuan alam ide. Ada juga yang berpandangan, bahwa manusia lahir seperti kertas putih yang masih kosong. Menurutnya, belajar adalah mengisi kertas kosong itu dengan berbagai tulisan. Ada juga toeri konvergensi yang menggabungkan keduanya. Manusia lahir dengan membawa berbagai potensi termasuk potensi untuk memahami, berfikir, dan belajar. Lingkunganlah yang berkewajiban untuk memelihara dan mengembangkan potensi-potensi tersebut. Belajar didefinisikan dengan upaya sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi-potensi manusia secara optimal.
Tinggalkan dulu perdebatan para filosuf tentang epistemology, kita kembali untuk menyimpulkan firman Allah yang dikutip di atas. Kesimpulan sementara, ada isyarat yang segera kita tangkap, bahwa manusia lahir dibekali dengan daya atau kekuatan dan kemampuan yang bersipat potensial untuk memahami, berfikir dan belajar. Daya dengar dan daya lihat merupakan simbol dari kemampuan potensial indrawi untuk menangkap segala informasi dari penomena alam. Begitu juga daya untuk memahami, berfikir, belajar, daya analisis dan berfikir intuitif merupakan symbol dari kekuatan potensial yang dimiliki fu`ad manusia.
Kembali ke persoalan semula, salah satu bukti kesempurnaan dan keistimewaan manusia adalah kepemilikan –yang dalam dunia neurology dan psikologi pendidikan disebut- otak belajar (learning brain) sebagai anugerah Tuhan yang tidak dimiliki oleh mahluk lain. Manusia disebut sebagai ‘al-Hayawan an-Nathiq’, makhluq yang dapat berfikir. Dengan kemampuan berfikir, meminjam istilah psikologi, manusia menjadi ‘unik’.
Gordon Dryden dalam bukunya The Learning Revolution (2000:112-113) mengatakan bahwa:”Anda adalah pemilik computer terhebat di dunia” , bahkan “ia beribu-ribu kali lebih hebat daripada computer terhebat di dunia. Dan ia adalah milik Anda; otak yang membuat Anda dan juga manusia lain menjadi unik”.
Glenn Domman sebagai mana dikutip Gordon Dryden (2000:116) menyatakan bahwa : “Lima kemampuan unik manusia ; mampu berjalan tegak, mampu mengatupkan jempol dan telunjuk, mampu berbicara dan menulis, mampu memahami pembicaraan, dan mampu membaca. Seluruhnya merupakan fungsi korteks otak. Jika sebuah kortek Anda rusak, Anda bisa kehilangan salah satu kemampuan di atas”. Perlu ditambahkan pula bahwa dengan kecerdasan ruhaninya, manusia mampu menangkap relitas metafisik yang non material.
Kesempurnaan dan keistimewaan manusia berpusat pada ‘fu`ad’ suatu realitas paduan antara hati dan otak, yang keduanya selain memiliki dimensi fisik, juga memiliki hubungan dimensi batin atau mental. Paling tidak, ia sebagai kanal penghubung antara yang fisik dan yang metafisik, antara badan dan jiwa. Bahkan menurut penelitian mutahir, baik psikologi maupun filsafat berpandangan adanya kesatuan antara tubuh dan jiwa.
Semua ini merupakan anugerah Alloh SWT yang harus kita syukuri, seperti di ahir ayat di jelaskan “agar kalian bersyukur”. Syeikh `Ala’uddin dalam tafsirnya (Khozin,3:28) menegaskan : “Agar kalian melakukan transformasi (perubahan) dari tidak tahu menjadi tahu. Dan agar kalian menggunakan anugerah Allah itu sebagai rasa syukur kepada-Nya”.
Islam selalu mengarahkan dengan jelas untuk memanfaatkan potensi otak ini secara proporsional. Anjuran islam untuk mencari ilmu sejak dari buaian sampai menjelang masuk liang lahat, menjadi landasan dasar dalam konsep belajar sepanjang hayat (long life education). Al-Qur`an yang berbunyi ”tidak sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui”, “Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan orang yang memiliki ilmu”, adalah dorongan dan sekaligus arahanan agar manusia dapat memanfaatkan anugerah Allah, yang salah satunya adalah otak.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang diahiri dengan kata-kata yang memberikan perintah kepada manusia agar mereka ‘berfikir’, ‘merenung’, ‘memahami’, dan ‘mengambil pelajaran’. Allah swt. sama sekali tidak akan pernah memberikan suatu beban atau perintah, kecuali terlebih dahulu dibekali dengan kemampuan-kemampuan yang memadai. Allah menyuruh manusia untuk berfikir, disertai dengan kemampuan-kemampuan potensial yang dipersiapkan untuk melakukannya.
Sangat jelas sudah, bahwa ‘pendengaran’, ‘penglihatan’ dan ‘al-af`idah’, adalah anugrah Allah sebagai potensi yang sangat memadai untuk belajar dan berfikir. Dengan ini saja sudah cukup bahwa kita diberi potensi untuk belajar, ditambah lagi dengan potensi-potensi fitri lainnya sebagai pendukung.
3. Mensyukuri Potensi Diri
Dalam kitab Madarij as-Salikin (2:247), buah karya Ibnu Qoyim Al-Juziah, Syeikh Abu Ismail al-Harawi, mengatakan bahwa : “Syukur itu sebuah nama untuk mengetahui nikmat. Dan mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat”. Ibnu Qoyim mengomentarinya, “Mengetahui nikmat merupakan fondasi (rukun) syukur”. Dalam paragraf lain beliau melanjutkan, “bahkan mengetahui nikmat merupakan pondasi yang paling utama, karena tidak mungkin ada syukur, tanpa mengetahui nikmat”. Ternyata syukur pun ada rukunnya, mirip seperti pada shalat dan ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Dalam kitab lain (Fath al-Majid:452) Ibnu Qoyim mengatakan “Barang siapa yang tidak mengetahui nikmat, lebih-lebih jahil atas nikmat itu, maka ia tidak akan pernah mensyukurinya”. Syeikh Abdurrahman (Fath al-Majid:65 dan 452), ketika mengomentari kitab Tauhid Abdul Wahab, yang menjadi rujukan utama kaum Wahabi di bidang tauhid, ia mengatakan :”Syukur itu tidak akan tegak, kecuali bila dibangun di atas tiga rukun (fondasi); pengakuan atas nikmat, menghubungkannya dengan Pemberi nikmat, dan menggunakan sesuai dengan tuntutan (fungsi) nikmat”.
Otak, sebagaimana organ lainnya merupaqkan anugerah Tuhan yang meniscayakan untuk disyukuri. Selain itu otak juga merupakan amanah yang sangat erat kaitannya dengan mas`uliah (pertanggung jawaban). Mas`uliah (pertanggung jawaban), berimplikasi adanya sanksi (funishmen), baik berupa pahala atau penghargaan (reward), maupun sanksi ancaman atau adzab. Firman Allah mengingatkan (17:36) “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu`ad, semuanya akan diminta pertanggungjawaban”.
“Qalilan ma Tasykurun”, sedikit sekali yang bersyukur, adalah ujung ketiga ayat yang berkaitan dengan potensi otak untuk belajar. Allah memberikan penjelasan bahwa maksud dan tujuan diberikannya potensi-potensi belajar itu “agar kamu bersyukur”. Akan tetapi dalam kenyataannya manusia sedikit sekali yang bersyukur. Dengan bahasa kita, potensi-potensi belajar itu diciptakan dan diperuntukknan bagi kamu, dengan maksud ‘agar kamu belajar’ , ternyata “sedikit sekali yang belajar”. Dalam istilah psikologi atau neurology, untuk ungkapan yang senada dengan ‘agar kamu belajar’ dan ‘sedikit sekali yang belajar’ adalah ungkapan ‘use it or loose it’ , ‘Anda pakai otak itu, atau Anda sia-siakan’.
Bila kita menggunakan otak belajar, berarti kita mensyukuri nikmat Tuhan. Kita sukses dalam menerima dan memelihara amanah, dan ahirnya kita mendapatkan rewad (pahala) berupa pengetahuan. Sebaliknya, bila kita tidak menggunakan otak belajr, berarti kita mengabaikan anugerah dan hianat atas amanat Tuhan, kita akan mendapatkan sanksi atau adzab berupa kebodohan dan keterbelakangan. Kita masih teringat atas firman Tuhan dalam al-Quran surat Ibrahim (14:7) yang membuat pernyataan bahwa :”Jika kamu bersyukur, sungguh akan Kami tambahkan (nikmat itu) kepadamu. Tetapi jika kamu mengkufuri (nikmat itu), sesungguhnya adzab Kami sangat pedih”.
Manfaatkan indra kita semaksimal mungkin untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, yang selanjutnya akan menghasilkan sain. Maksimalkan fungsi fu`ad ,dalam pengertian kecerdasan otak (akal-rasio), yang dapat mengetahui objek-objek yang abstrak untuk menghasilkan filsafat. Kemudian tajamkan fungsi fu`ad, dalam pengertian hati, yang dapat mengetahui hal-hal yang gaib yang sering disebut supralogis -dalam pengertian abstrak tetapi masih logis- untuk mendapatkan ilmu mistik. Sinergiskan kinerja ketiga ‘antena’ pengetahuan (indra, otak/akal/rasioa, dan hati) ini sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan yang berguna dan bernilai tinggi.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa mensyukuri ni`mat indra, otak, dan hati adalah dengan memanfaatkannya melalui belajar, berfikir, dan merenung. Karena indra, otak, dan hati sudah diciptakan dengan kekuatan-kekuatan tersembunyi sehingga ia siap untuk melakukannya. Bila kita belajar, berarti memenuhi perintah dan harapan Allah “agar kamu bersyukur”.
Mari kita mulai untuk belajar bersykur, melalui belajar. Perbanyaklah rasa syukur kita dengan cara memperbanyak belajar. Allah swt pasti akan memberikan tambahan nikmat-Nya berupa pengetahuan sebagai hasil belajar.
Selasa, 03 Juni 2008
Muqaddimah
Saya mencoba membuka media informasi buat semua insan tentang pendidikan, agama, politik, dan sosial.
Mari kita isi media ini untuk kemajuan bersama.
Terima kasih