Sabtu, 07 Juni 2008

URGENSITAS MENGENAL DIRI

I. MENGENALI DIRI

A. KEWAJIBAN MENGENAL DIRI
Mengenal diri, dalam bahasa Arab dinamakan ma’rifat an-Nafs. Kata Nafs, kalau merujuk pada al-Quran dan al-Hadits atau literlatur Islam lainnya, akan didapat makna yang beragam. Dalam tulisan ini, keragaman makna akan diabaikan. Nafs, diartikan diri yang mengandung arti dua dimensi; lahiriah dan bathiniah, jasadiah dan ruhaniah, atau fisik dan mental. Diri adalah totalitas kepribadian manusia, dan hakekat diri adalah nafs itu sendiri.
Allah SWT. telah berfirman dalam Al-Quran (QS. 5 : 105) : “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk”. (Tarjamah Depag)
Frase ‘`alaikum anfusakum’ (‘jagalah diri kalian’), merupakan perintah yang sangat halus dan lembut, yang dalam istilah ilmu nahwu dinamakan Ighra. Sehingga, menurut mufassir An-Nasafi dalam kitabnya pada hamisy tafsir Khozin (I:493) , frase tersebut berarti “Wajib bagi kalian untuk memperbaiki diri kalian”. Menurut mufassir terkenal, Ibnu Katsir (2:109) ketika mengomentari ayat di atas beliau berkata : “Allah menyuruh hamba-Nya yang beriman agar memperbaiki dirinya dan melakukan aktivitas bernilai dengn kesungguhan dan kekuatan mereka”. Muhammad Rasid Ridha (Al-Manar, 7:210) mengatakan :”Allah menyuruh orang beriman agar mereka selalu berkonsentrasi memperhatikan dirinya dan memperbaikinya melalui ilmu pengetahuan dan perbuatan secara benar”. Dan menurut Thaba Thaba`i (tafsir Mizan, 6:161), “ayat ini memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu terikat (komitmen) dan bertanggung jawab pada diri mereka”.
Ayat al-Quran di atas berikut komentar para mufasir menunjukkan bahwa kita harus berkonsentrasi penuh memperhatikan diri kita untuk melakukan perbaikan dan pengembangan secara lebih optimal. Karena hanya kita sendirilah yang lebih memamahami dan bertanggungjawab atas perbaikan dan pengembangannya.
Dalam proses perbaikan dan pengembangan diri secara optimal, terlebih dahulu kita diharuskan untuk mengenali dan memahami diri. Selain itu, sebagai manusia kita pun diwajibkan untuk memahami potensi-potensi tersembunyi yang dimiliki diri agar memiliki nilai lebih dalam mengaktualisasikannya di pentas kehidupan sosial kita.
Sebagaimana tradisi al-Quran, suatu ayat dapat memiliki makna lahir dan sekaligus makna bathin. Makna bathin pun dapat memiliki makna bathin yang lebih dalam. Begitu juga pengertian anfus pada ayat tersebut di atas meliputi makna lahir dan makna batin. Sehingga diri dalam kalimat ‘mengenal diri’ sangat lebih jelas mengandung dimensi batiniah yang tersembunyi. Dan harus ingat, bahwa dimensi batiniah ini menjadi titik sentral ‘diri’ kemanusiaan kita. Sehingga ‘diri’ dalam pengertian inilah yang merupakan realitas hakiki diri kita.
Imam Gozali, sebagaimana dikutip oleh Sachiko Murata (The Tao of Islam:306) mengatakan : “Jika kamu ingin mengenal dirimu sendiri, kamu hendaknya tahu bahwa ketika kamu diciptakan, dua hal juga tercipta . Yang satu adalah kerangka lahiriah, yang disebut badan. Ia dapat dilihat dengan mata lahiriah. Yang kedua adalah makna bathiniah yang disebut jiwa, ruh, dan hati. Ia dapat dikenali melalui wawasan batiniah tetapi tidak dapat dilihat dengan mata lahiriah. Realitas kamu adalah makna batiniah itu”.
Bila Anda sudah memahami dan meyakini bahwa realitas ruhani merupakan realitas hakiki diri, maka pengetahuan tentang realitas ruhani mutlak harus dimiliki oleh Anda dan setiap insan. Sasaran utama dari pengetahuan realitas ruhani merupakan substansi yang sangat penting, yaitu untuk menempuh jalan menuju kesempurnaan. Yang paling penting lagi, bahwa pengetahuan realitas batiniah menjadi kunci utama untuk menuju pengetahuan tantang Tuhan Yang Mahakasih sebagai Pencipta diri ini. Imam Gozali, sebagaimana dikutip oleh Sachiko Murata (The Tao of Islam:305) mengatakan: “Ketahuilah bahwa kunci kepada pengetahuan tentang Tuhan adalah pengetahuan tentang jiwa kita sendiri. Itulah sebabnya dikatakan; ‘orang yang mengenal dirinya sendiri akan mengenal Tuhannya”.
Dalam kitab Bihar al-Anwar (2:32) seperti dituliskan oleh Al-Hakimi (al-Hayat , I:126) Rasulullah saw. pernah bersabda : “Barang siapa yang telah mengenal dirinya, sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya”. Masih sabda Nabi, ketika seseorang bertanya kepadanya tentang cara mengetahui kebenaran. Beliau menjawab dengan singkat yaitu “dengan cara mengetahui dirimu”.(al-hayat,I:126).
Bila Anda berfikir sedikit agak mendalam, sabda Rasul itu dapat kita fahami dengan sangat logis. Karena dalam nafs itu terdapat fotensi yang selalu cenderung pada kebenaran. Istilah yang lazim disebut hati nurani yang sangat dalam dan tak pernah berbohong. Nafs bagian ini dinamakan nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang) atau qalbun salim (hati yang selamat). Ia memancarkan cahaya Ilahiah menembus ke seluruh nadi dan tubuh menerangi dinding kegelapan nafs angkara murka. Ibun Qayim al-Juziah (Madarij as-Salikin, 3:471) menandaskan bahwa :”Allah swt telah menjadikan hati ini sebagai penerima kebenaran dan mengikutinya. Merasa tenang dan aman bersamanya, serta selalu mencintainya. Dan sebaliknya, Allah swt menjadikan hati ini menjadi benci atas kebatilan dan kebohongan, lari darinya, bimbang dan tiada ketentraman bersamanya”. Pengenalan diri seperti ini adalah puncak dari tahapan hierarki pengenalan diri.
Karena itu, pengetahuan tentang diri merupakan pengetahuan yang sangat bermanfaat dalam kehidupan Anda. Ia akan membimbing Anda cara bergaul, meningkatkan rasa kepercayaan diri, mendorong Anda untuk lebih berkreasi dan berprestasi, serta membentengi Anda dari rasa rendah diri dan frustasi. Pengetahuan ini mampu menghadapi berbagai tantangan dan dapat menyelesaikan problematika kehidupan dengan cara yang lebih indah dan memuaskan. Al-Hakimi (al-Hayat, I:127) mengutip pernyataan sayidina Ali ra. yang mengatakan bahwa “ Pengetahuan diri merupakan pengetahuan yang paling bermanfaat”. Masih pernyataan beliau “Puncak pengetahuan seseorang adalah mengenal dirinya sendiri”. Adalah benar adanya, karena pengetahuan tersebut akan mengantarkan manusia pada tingkat kesempurnaan. Kesempurnaan sejati berada pada Kesempurnaan Tuhan. kita harus berusaha untuk menggapai kesempurnaan tersebut.
Akhirnya Imam Gazali menandaskan (The Tao of Islam:305) “ Pendeknya, tidak ada yang lebih dekat denganmu kecuali dirimu sendiri. Jika kamu tidak mengenal dirimu sendiri, bagaimana kamu akan mengenal yang lain”.
Bagaimana Anda dapat mengenal orang lain, jika tidak mengenal diri Anda sendiri. Sebab, substansi batiniah orang lain pun memiliki kesamaan dengan dimensi batiniah yang Anda miliki. Anda tidak akan memahami keistimewaan yang inheren pada diri orang lain kalau Anda tidak berusaha memahami apa yang terkandung dalam diri Anda sendiri. Atau Anda hanya menganggap bahwa wujud diri ini sebagaimana wujud batu dan pepohonan ? Tentang memahami diri, dalam surat Adz-Dzariat Allah mengingatkan kita “dan juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan ?” (QS.51:21)
Sisi batiniah yang mana yang harus Anda fahami ? Untuk keperluan bahasan di sini kita kutip pernyatan seorang pilosuf muslim kontemporer, Muhammad Baqir Ash-Shadr (Falsafatuna:270) yang mengatakan bahwa : “Manusia memiliki dua sisi. Yang pertama sisi material yang terjelma dalam komposisi organiknya. Yang kedua adalah sisi spiritual atau non-material yang merupakan pentas aktivitas pemikiran dan mental”
Untuk sementara, pembahasan tentang sisi batin manusia dibatasi pada aktivitas mental yang berkaitan dengan berfikir dan belajar. Namun boleh jadi tulisan ini sedikit akan menyinggung sisi batiniah lainnya. Fokus kita adalah : Potensi apa yang dimiliki manusia untuk memahamai, belajar, dan berfikir. Sejauhmana potensi itu dapat berkembang. Dan bagaimana seharusnya kita memanfaatkan potensi anugerah Tuhan itu ?

B. URGENSITAS PENGENALAN DIRI
1. Kerugian Bila Tidak Mengenal diri
Akan saya kutip pernyataan para ahli, yang berkaitan dengan pengenalan diri. Salah satunya adalah pernyataan Mohammad Ali As-Somali (Mengenal diri:27) “Pengenalan diri adalah suatu sistem yang sangat efektif bagi perbaikan diri”. Ditegaskan pula oleh Trio Al-Hakimi (M. Ridha Al-Hakimi, Muhammad Al-Hakimi, dan Ali Al-Hakimi) dalam kitabnya (al-Hayat, I:224) yang menyatakan bahwa : “Syarat utama dalam mengembangkan, mendidik, dan menyempurnakan diri adalah mengenalnya”.
Bayangkan, bagaimana Anda dapat membangun suatu rumah misalnya, sementara Anda tidak mampu untuk mengenali dan memahami apa rumah itu, bagaimana cara membangunnya, dan bagaimana pula cara menempati dan memeliharanya. Makanya, jika Anda ingin mengaktualisasikan diri dalam pentas kehidupan ini, memahami diri merupakan sarat utamanya.
Selajutnya al-Hakimi (Al-Hayat, 1:224) menjelaskan, “Karena orang yang tidak mengenal diri berikut nilai-nilai wujudnya, ketinggian potensinya, dan kesiapan-kesiapan pembawaan instinsiknya, ia tidak akan pernah beranjak untuk medidik, mendorong, dan mengaktualisasikan fotensi dirinya dalam bentuk aktivitas. Bahkan ia tidak memiliki hasrat yang kuat untuk memanfaatkan fotensi diri yang dimilikinya”.
Anda termasuk kategori orang yang kufur ni`mat bila Anda tidak memanfaatkan anugrah Ilahi berupa fotensi diri yang tersembunyi. Anda pun termasuk orang yang jahil, bila Anda tidak mengenali dan memahami diri dan kekuatan fotensinya. Dalam hal ini, Mufassir kontemporer ,Thaba Thab`i dalam tafsirnya (Mizan, 6:172) mengutip perkataan sayidina Ali ra. pernah mengatakan bahwa : “Kejahilan paling besar adalah ketidaktahuan manusia akan realitas (amr) dirinya sendiri”.
Kehidupan dalam era transparansi dan informasi dewasa ini –yang seharusnya lebih saling mengenal dengan tataran relitas kemanusiaan yang hakiki- sudah tidak layak lagi adanya proses alienasi (saling asing dalam arti kemanusiaan yang hakiki) dan proses marginalisasi (saling menyingkirkan). Namun dalam kehidupan manusia yang real, proses alienasi, marginalisasi, bahkan fragmentasi ( memandang manusia secara tidak utuh) masih tetap sering terjadi. Dalam proses pergumulan manusia di muka bumi ini, ada ‘nilai kemanusiaan’ yang hilang. Proses alienasi, marginalisasi, dan pragmentasi ini menjadi pergulatan yang bukan hanya terjadi antar manusia, bahkan terjadi pada dirinya sendiri. Artinya, orang sudah terasing dari dirinya yang hakiki, dan realitas kemanusiaan yang hakiki disingkirkan, serta memandang dirinya sendiri sudah tidak utuh lagi, lebih-lebih mereka lari dari ‘diri’ yang sejati. Sayidina Ali ra menyindir kita : “Saya merasa heran kepada orang yang sibuk mencari barang yang hilang darinya, padahal yang sesungguhnya ia telah kehilangan dirinya tapi tidak mencarinya”.
Bila Anda tidak mengenal diri Anda sendiri beserta fotensi-fotensi fitrinya, bukan hanya terasing, bahkan boleh jadi Anda akan memusuhinya, hanya Anda tidak tahu dan tidak menyadarinya. Sayidina Ali ra berkata : ” Manusia akan memusuhi apa yang ia tidak ketahui”. (al_Hayat, I:172). Pernyataan sayidina Ali ini bukan tanpa alasan, kalau Anda merujuk pada al-Quran, dapat ditemukan pernyataan yang hampir senada yaitu dalam surat Yunus ayat ke 39, Allah berfirman “Bahkan mereka membohongkan apa-apa yang mereka tidak mengetahui secara sempurna”. (QS.10:39).

2. Manfaat Mengenal Diri
“Orang akan mendapatkan kesuksesan besar, manakala ia berhasil mengenali dirinya” (Tafsir Mizan, 6:173). Anda akan meraih kesuksesan besar dan menggapai prestasi gemilang dalam kehidupan ini, manakala Anda berhasil mengenali hakikat diri dan fotensi intrinsiknya secara baik dan benar. Bila Anda memanfaatkan modal kecerdasan yang di anugerahkan oleh Allah swt , baik itu kecerdasan intelektual, emosianal, dan spiritual, insya Allah Anda dapat memiliki ilmu teoritis tentang pengenalan diri.
Perlu diketahui, bahwa pengenalan diri terdiri dari dua tingkatan. Pertama, pengenalan diri secara teoritis. Artinya Anda harus memliki dasar ilmiah tentang diri dan kekuatan-kekuatan potensinya, sebagaimana sudah diteliti dan di populerkan oleh para ahli di bidangnya. Baik bidang pisiologi-neurologist, hususnya yang membahas cara kerja syaraf otak dalam belajar. Begitu pula bidang psikologi yang erat kaitannya dengan aktivitas mental dalam belajar. Maupun bidang filosofi, dan lebih utama lagi pengetahuan teoritis tentang ‘diri’ yang dirintis oleh para ahli filosofi ruhani.
Kedua, bersifat tajribi, pengalaman. Artinya melalu metode pengalaman batiniah paraktis yang didukung oleh pengetahuan teoritis. Karena pengalaman batiniah inilah yang dapat merasakan perkembangan ruhani secara akurat, serta lebih memahami sinergitas kinerja potensi-potensi internal diri.
Adapun mengenai manfaat pengenalan diri, secara sederhana dapat disimpukan dalam paragraf-paragraf di bawah ini :

1). Mengetahui potensi-potensi fitri, beserta kekuatan dan kelemahannya.
Manusia diciptakan dengan dibekali potensi fitriah untuk melangsungkan kehidupannya di bumi yang fana ini. Potensi adalah merupakan kapasitas diri (kemampuan kecenderungan bawaan sejak ia diciptakan), baik yang positif maupun brsifat negative. Salah satu manfaat praktisnya adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang berbagai potensi diri berikut kapasitasnya serta bakat-bakat tersembunyi dan kelemahan-kelemahan yang mengikutinya.
Bila Anda belajar mengenali diri secara teoritis kemudian diproyeksikan pada diri Anda sendiri , Anda akan memperoleh dua keuntungan secara bersamaan. Pertama, Anda akan medapatkan pengetahuan teoritis tentang diri, dan kedua, Anda akan mengetahui dan menemukan kemampuan-kemampuan diri yang Anda miliki. Anda dapat mengetahui kekuatan-kekuatan yang dimiliki, kemudian berusaha untuk mengembangkannya dengan lebih sempurna. Anda juga dapat menemukan kelemahan diri, kemudian mencari alternateif cara memperbaikinya.
Sayidina Ali ra (al-Hayat, 1:127) mengatakan “Seseorang, sudah cukup dikatakan jahil bila ia tidak mengenal kemampuan diri yang dimilikinya”. Tambahnya lagi “Binasalah orang yang tidak mengenal kemampuan dirinya”.
Bila menemukan kelebihan-kelebihan, Anda harus bersyukur atas segala anugerah Tuhan. Bila menemukan kelemahan, Anda tidak perlu putus asa dan kecil hati karena jalan untuk meraih kesuksesan masih terbuka lebar. Hanya saja, sedikit memerlukan keberanian dalam menempuh jalan perbaikan. Dan jangan lupa, bahwa penemuan kelemahan diri merupakan langkah awal dalam proses perbaikan dan pengembangan diri. Menurut ungkapan sayidina Ali dalam kitab Ghurar al-Hikam halaman 322, yang dikutip al-Hakimi (al-Hayat, 1:127) beliau menyatakan :”Konsentrasi internal pada diri sendiri, berarti langkah maju untuk memperbaikinya”.
2). Menemukan hakekat realitas diri.
Pengetahuan diri yang dianjurkan islam bukanlah pengetahuan sebatas dimensi fisiknya, namun lebih menitik beratkan pada aspek ruhaniahnya. Seperti yang pernah di sebutkan sebelumnya, bahwa realitas ruhani merupakan realitas hakiki diri. Dengan belajar menegnali diri, Anda akan memperoleh pengetahuan tentang hakikat realitas ruhani insani. Realitas ruhani diri dapat Anda ketahui, karena manusia dibekali dengan berbagai kecerdasan potensial untuk memahaminya. Menurut Dr. Ali Syari`ati dalam bukunya ‘Manusia dan Agama’ (1990:164) “Nilai-nilai insani seseorang secara potensial ada dalam diri seseorang, yang harus dilatih agar tumbuh subur”.
Kadang-kadang muncul suatu pemahaman yang keliru, bahwa pengetahuan ruhani merupakan suatu konsep yang sangat tinggi dan tidak mungkin dipelajari dan dimiliki oleh manusia biasa seperti kita. Bila mendengar pembicaraan orang tentang sisi dalam (ruhani) manusia, langsung memeberikan komentar dengan nada kritis-destruktif yang seolah-olah ruhani itu bukan miliknya pula.
Anda harus menyadari bahwa mengetahui realitas ruhani bukan hanya diperuntukkan bagi para nabi, para wali atau kaum sufi. Manusia biasapun, termasuk Anda, yang bukan nabi, bukan wali, dan bukan sufi secara potensial memiliki kemampuan untuk memahami dimensi ruhani yang dimilikinya sendiri, insya Alloh. Modal pertama yang harus kita bangkitkan adalah kemauan yang kuat untuk memenuhi perintah Ilahi dalam mengenal, memperhatikan, memperbaiki, dan mengembangkan potensi diri.

3). Menememukan hakekat kamanusiaan secara menyeluruh.
Bila kita telah menemukan hakekat realitas diri sendiri, maka akan mengetahui pula hakekat manusia lain beserta martabat yang disandangnya. Realitas hakiki diri sendiri sama dengan realitas hakikat diri yang dimiliki orang lain. Kita akan menghormati dan menghargai orang lain sebagaimana kita menghormati dan menghargai diri kita sendiri. Di hadapan manusia lain, kita tidak akan bersikap sombong dan tidak pula merasa rendah diri. Kita tidak akan pernah merasa lebih hebat dan memandang rendah terhadap orang lain. Bila sudah menemukan hakikat kemanusiaan, maka missi, visi dan orientasinya adalah ‘memanusiakan’ diri sendiri, dan ‘memanusiakan’ orang lain secara bersamaan. Alienasi, marginalisasi, dan fragmentasi manusia tidak akan banyak terjadi, karena sudah saling mengenal dengan akrab bahwa setiap individu dari mereka memiliki realitas hakiki diri yang sama.
Manusia memiliki kecenderungan untuk makin ‘sadar’ akan diri maupun lingkungan dunianya. Kesadaran diri bila berkembang secara optilmal akan melahirkan sifat ‘Kesadaran Kemanusiaan’. Kesadaran Kemanusiaan, adalah bentuk kesadaran diri akan ‘jiwa nurani insani’ yang dimiliki setiap insan. Kesadaran diri menjadi langkah awal untuk berani menjelajahi dalam menemukan pemahaman akan ‘jiwa nurani insani’ secara universal.
Sebaliknya, bila kita tidak mengetahui realitas hakiki diri, kita tidak akan pernah mengetahui nilai dan martabat kemanusiaan yang dimiliki orang lain. Sayidinan Ali ra (al-Hayat, 1:127) mengatakan “Orang yang tidak mengenal martabat dirinya sendiri, iapun awam pada setiap yang memiliki martabat”.
Kesulitan dalam mewujudkan tatanan sosial yang manusiawi, dalam pengertian kehidupan yang sarat dengan keadilan, moral, dan kebersamaan yang berakar pada hati nurani manusia, adalah dikarenakan kurangnya pemahaman aspek ruhani manusia. Adalah benar apa yang ditawarkan oleh DR. Ali Syari’ati, ketika merintis tentang membangun masa depan islam dalam tatanan sosial, beliau menekankan agar setiap individu “kembaili pada diri sendiri”. Semboyan ‘kembali pada diri sendiri’ adalah semboyan yang sangat mendasar, primer, dan vital, yaitu kembali pada hakikat diri manusia yang sejati.

4). Mengetahui dan menyadari bahwa manusia diciptakan dengan sempurna.
Setelah mengetahui potensi-potensi instrinsik diri, baik melalui kajian pisiologi, psikologi, maupun kajian pilosofi ruhani, kita akan menyimpulkan bahwa betapa sempurna Tuhan menciptakan diri kita ini. Bila kita tidak sampai pada kesimpulan ini, berarti landasan kajian ilmiah tentang diri belum sempurna.
Mari kita simak bersama firman Tuhan dalam al-Quran surat at-Tin (95:4) yang berbunyi : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Al-Quran menggunakan kata ‘ahsan’ yang berbentuk isim tafdhil (super lative) yang bermakna ‘paling’. Para mufasir menggunakan kata-kata yang sepadan dengannya seperti kata ‘ahsan’, paling baik; ‘akmal’, paling sempurna; ‘a`adal’, paling seimbang.
Dari sisi biologis, para mufasir sepakat bahwa kata At-Taqwim mengandung makna pada aspek ini, seperti bentuk, rupa, dan berjalan dengan tegak. Pemahaman ini dapat dilacak pada tafsir-tafsir terkemuka misalnya, Ibnu Katsir 4:527, Khazin 4:391, An-Nasafi Hamisy Khazin 4:391, dan tafsir Mukhtashar At-Tobari.
At-Taqwim adalah menjadikan sesuatu memiliki penopang. Penopang adalah yang membuat sesuatu menjadi tegak dan tetap sehingga menjadi seimbang. Attaqwim dapat diartikan ‘seimbang’. Seimbang dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk psikhis yang merupakan sisi batiniah manusia. Mufassir kontemporer, Thaba Thaba`i (Mizan 20:365) menyimpulkan bahwa manusia diciptakan dengan “kesempurnaan yang universal, baik dalam seluruh sistem maupun dalam berbagai dimensi wujudnya”. Manusia diciptakan dengan memiliki keseimbangan sistem-sistem yang ada di dalamnya, baik sistem biologis (pisik) maupun sistem psikis (ruhani/mental). Wujud manusia diciptakan dengan sempurna, baik wujud fisik maupun wujud mental dan ruhani. Sekali lagi saya tekankan bahwa realitas wujud yang hakiki dari manusia adalah wujud ruhaninya.
Manusia pada asal penciptaannya adalah sempurna dan seimbang baik fisik maupun mental. Kesempurnaan mental (sisi batin) manusia tidak akan dapat dirasakan kalau tidak mengetahui dan mendalaminya. Sehingga motivasi dominant yang mendorong kita untuk mengenal diri adalah untuk menjawab sebuah pertanyaan mendasar yaitu ‘bagaimana bentuk kesempurnaan jiwa itu?’
Kesempurnaan dan kemuliaan manusia teridiri dari dua tahapan. Pertama, kemuliaan dan kesempurnaan takwini, dalam pengertian manusia pada awal penciptaannya adalah mulia dan sempurna. Tahap kedua bersifat ikhtiari. Manusia memiliki pilihan bebas untuk memilih kesempurnaan dan kemuliaan atau mengambil pilihan lain yaitu kehinaan, kerendahan, dan besengsaraan. Bila memilih kesempurnaan dan kemuliaan, ia siap melakukan kebajikan dengan mengikuti jalan yang sudah dipersiapkan Allah untuk menuju kemuliaan tersebut. Jadi, kesempurnaan dan kemuliaan tahap kedua, diserahkan pada pilihan bebas manusia. Sempurna, mulia, dan bahagia, atau memilih kehinaan dan kesengsaraan. Akh, selanjutnya terserah Anda !

5). Mengetahui bahwa manusia diciptakan bukan kebetulan dan tanpa makna.
Manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan bukanlah sia-sia tanpa makna, tetapi memiliki tujuan utama yang sangat berharga. Manusia diciptakan, agar mereka mampu mencerap Asma-asma Tuhan dan mengejawantahkannya dalam kehidupan mereka di muka bumi ini.
Tuhan sejak awal mengingatkan kita melalui firman-Nya (QS.23:115) : ”Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
Ibnu Katsir (3:259) menjelaskan : “Apakah kamu menduga, bahwa kamu diciptakan dengan sia-sia tanpa maksud, tujuan, dan hikmah?” Firman Tuhan ini merupakan bentuk pertanyaan retoris, yang secara tekstual jawabannya tidak tertulis. Karena dengan sangat mudah dapat dipahami bahwa manusia diciptakan penuh dengan tujuan dan hikmah, dan pasti akan kembali menghampiri Penciptanya.
Dalam ayat lain (QS. 84:6) Allah SWT mengingatkan “Wahai manusia ! Sesungguhnya kamu sedang bekerja dan bergegas menuju Tuhanmu. Dan kamu pasti menemui-Nya”.
Setelah mengetahui kehebatan yang dimiliki oleh diri sejati insani, ternyata manusia diciptakan untuk menempuh suatu jalan agar mereka dapat hidup dalam kedamaian dan penuh kebahagiaan. Sebagai khalifah Allah dimuka bumi, manusia berkewajiban untuk memakmurman bumi ini dengan mewujudkan tatanan soasial yang penuh dengan keadilan. Keadilan harus dapat dirasakan oleh setiap lapisan insane, sehingga setiap insan dapat menikmati kebahagiaan. Kebahagiaan dapat diidentifikasi bila segalanya sempurna, lahiriah dan batiniah. Kesempurnaan merupakan puncak kebahagiaan manusia.
Kesempurnaan dapat diraih, pertama, bila ada pengakuan bahwa ‘diri‘ ini diciptakan dengan sempurna. Kedua, meyakini bahwa yang menciptakan diri yang sempurna ini adalah Dzat Yang Maha Sempurna. Ketiga, menempuh jalan yang sempurna yang sudah ditentukan oleh Dzat Yang Maha Sempurna. Dan yang terahir, meyakini dengan kuat bahwa diri ini akan kembali lagi pada Dzat Yang Maha Sempurna.
Ketika kembali menuju Dzat Yang Maha Sempurna, haruslah diri ini kembali dalam keadaan yang sempurna pula. Kita harus berusaha dengan penuh semangat dan hasrat yang kuat untuk meraih kesempurnaan, mendekati Kesempurnaan Dzat Yang Maha Sempurna. Kita harus ingat “pada suatu hari dimana tidak berguna lagi kekayaan dan keturunan, kecuali orang yang datang menghampiri Allah dengan hati yang selamat”.

6). Mengetahui Pencipta
Puncak dari hierarki tahapan pengenalan diri harus bermuara pada pengenalan Sang Pencipta. Ini adalah tujuan tertinggi dari pengenalan diri, pengetahuan yang paling utama dan paling mulia. Kita harus dapat menemukan siapa dibalik kehebatan dan kesempurnaan diri ini ? Ketika kita menemukan diri dan potensi-potensi fitrinya, maka hal tersebut meniscayakan untuk mengetahui Penciptanya. Siapa yang menganugerahkan kehebatan, kemampuan-kemampuan batin, dan keistimewaan diri ini ? Siapa yang menciptakan sistem-sistem yang terdapat pada tubuh ini, sehingga semua sistem yang ada, baik fisik maupun ruhani semuanya dalam keadaan seimbang ?
Pengetahuan tentang diri menjadi pintu gerbang menuju pengetahuan metafisika yang non material, menjadi jembatan yang menghubungkan antara aspek manusiawi yang membumi dengan aspek Ilahiah yang suci dan bercahaya. Ketika kita menemukan Sang Pencipta, yang pasti memiliki sifat Maha Sempurna, nurani yang suci pasti akan mengungkapkan rasa syukur kepada-Nya, berhidmat kepada-Nya, memiliki rasa rindu dan ingin selalu berhubugan bersama-Nya.
Inilah bukti pernyataan yang pernah di nubuwwatkan oleh baginda nabi Muhammad saw. “Barang siapa yang telah mengenal dirinya, sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya”. Masih sabda Nabi, ketika seseorang bertanya kepadanya tentang cara mengetahui kebenaran. Beliau menjawab dengan singkat yaitu “dengan cara mengetahui dirimu”.(al-hayat,I:126).
Bila sudah meyakini bahwa kesempurnaan diri dan potensi fitrinya tidak terwujud secara alami dengan begitu saja, pastikan pada diri Anda, bahwa sebab utama (sebab primer) kemaujudan tersebut adalah Allah swt. Anda harus selalu mengabdi kepada-Nya, mengingat-Nya, dan jangan sekali-kali lupa kepada-Nya. Sebab, Anda tidak akan mampu lepas dari-Nya walau hanya satu sekon pun. Anda tidak mungkin lepas dari-Nya, sebab Dialah yang selalu melakukan pengaturan dan pengawasan pada setiap saat terhadap sistem tubuh yang beroperasi pada diri Anda. Jika Anda berhasil memaknai dan merasakan lebih dalam tentang hal ini, maka akan muncul dari hati nurani yang suci sebuah kesimpulan yang sangat berharga, dan akan mengatakan pada diri Anda bahwa “Aku selalu membutuhkan Allah SWT”.
Jika Anda melupakan-Nya, lalai dalam merespon perintah-Nya, termasuk perintah untuk mengenal diri, maka Dia akan menjadikan Anda lupa pada diri Anda sendiri. Dalam surat Al-Hasyr (QS.59:19) Dia mengatakan :”Dan jangalnah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.

Tidak ada komentar: