Sabtu, 07 Juni 2008

BERSYUKUR DENGAN BELAJAR

MENSYUKURI POTENSI DIRI MELALUI BELAJAR

1. Memahami Kesempurnaan Diri
Sebagai mana Tuhan telah berfirman (QS. 20:365) bahwa “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
At-Taqwim, ahir ayat di atas, adalah menjadikan sesuatu memiliki penopang. Penopang adalah yang membuat sesuatu menjadi tegak dan tetap sehingga menjadi seimbang. Attaqwim dapat diartikan ‘keseimbangan’. Seimbang dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk psikhis yang merupakan sisi batiniah manusia. Mufassir kontemporer, Thaba Thaba`i (Mizan 20:365) menyimpulkan bahwa manusia diciptakan dengan “kesempurnaan yang universal, baik dalam seluruh sistem maupun dalam berbagai dimensi wujudnya”.
Manusia diciptakan dengan memiliki keseimbangan sistem-sistem yang ada di dalamnya, baik sistem biologis (pisik) maupun sistem psikis (ruhani/mental). Wujud manusia diciptakan dengan sempurna, baik wujud fisik maupun wujud mental dan ruhani. Sistem yang berada pada tubuh, begitu serasi, indah dan nyaman sehinggga kita dapat merasakan berbagai nikmat dari fungsi-fungsi organ tubuh tersebut. Bila ada salah satu bagian organ tubuh kita yang fungsinya tidak berjalan secara normal, secara otomatis tubuh yang lain akan merasakannya. Lebih-lebih ketidak normalan itu menyerang fungsi-fungsi oragan vital seperti jantung, syaraf otak, ginjal, hati, dan organ vital lain.
Contoh yang sangat sederhana, adalah system pembersihan darah yang dikerjakan oleh ginjal. Jika ginjal Anda tidak berfungsi, Anda harus melakukan proses cuci darah secara medis, paling tidak seminggu sekali dengan biaya yang sangat mahal. Mari nikmati secara mendalam, Allah menciptakan alat pembersih darah dengan organ tubuh bernama ginjal dengan sistem yang sangat menakjubkan. Anda tidak perlu ke Dokter, juga tidak perlu mengeluarkan biaya sedikitpun. Begitu juga dengan system-sistem tubuh yang lain misalnya; system pencernaan, pernafasan, peredaran darah, dan yang lainnya.
Keseimbangan system tersebut juga terdapat pada sistem yang terkait dengan aktivitas mental kita. Allah telah menciptakan system mental dan ruhani yang sempurna dan seimbang. Istilah keseimbangan dan kesempurnaan sistem mental atau ruhani, para ahli psikiter menyebutnya ‘kesehatan mental’. Ketika membicarakan kesehatan mental, Dr. Zakiiah Daradjat, dalam bukunya Kesehatan Mental (1985:13) mengungkapkan “Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya”. Menurut depinisi ini, Jiwa yang normal (seimbang) adalah adanya keharmonisan antara fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi setiap problem kehidupan dan adanya kemampuan beradpatasi dengan setiap situasi kehidupan, sehingga jiwa tetap stabil berada pada kandisi normalnya. Keharmonisan batin dapat terwujud bila fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup masing-masing memberikan kontribusi imbang dan bekerja secara sinergis.
Bila ada system mental atau system ruhani yang mengalami ketidakseimbangan, maka kita akan mengalami gangguan kejiwaan (neurose) bahkan dapat menimbulkan penyakit jiwa (psychose).. Mekanisme keseimbangan mental dan ruhani, kebanyakan masih merupakan misteri, sebahagian sudah dapat diditeksi itupun hanya sedikit para ahli yang mengetahui. Seperti mekanisme kerja otak reptil, yang menyalurkan rasa lapar ke organ tubuh yang ada di bagian perut, atau sistem limbik dengan perasaan kecewa, gembira, senang, rindu, benci, marah, atau emosi lainnya yang dapat dirasakan oleh hati, hanya para ahli yang tahu. Kita yang awam , mungkin hanya dapat merasakan gejalanya.
Sekedar contoh yang sangat sederhana, jika kita menyelesaikan tugas dengan baik dan penuh tanggungjawab menimbulkan perasaan puas dan menyenangkan. Begitu juga sikap jujur, benar, dan sikap adil melahirkan persaan tenang, mantap, dan percaya diri. Dan sebaliknya perbuatan keji, berbohong, dosa, berbuat dzalim mengakibatkan perasaan bimbang, takut, gelisah, dan perasaan bersalah. Pada saat kita berbohong, hati menjadi tidak tenang, dan jantungpun ikut berdebar. Penyakit hasud, dengki, takabur, menghianati dan mendzalimi orang, selain menimbulkan gangguan kejiwaan, juga -menurut sebahagian para ahl- akan menimbulkan penyakit jantung atau darah tinggi pada penderita psikosomatis ( penyakit fisik akibat ruhani yang sakit ). Semua ungkapan di atas hanya melambangkan sebagian dari gejala jiwa atau ruhani yang seimbang dang yang tidak seimbang, gejala jiwa yang normal dan tidak normal, jiwa yang sehat dan jiwa yang mengalami gangguan.
Fungsi hati yang bisa sedih, gembira, senang, cinta, rindu, kecewa, prustasi, dan lain sebagainya, kadang teraktualisasi pada yang bukan tempatnya. Cepat marah karena hal-hal spele, atau tidak pernah marah meskipun diganggu dengan sangat, inipun melambangkan jiwa yang kurang normal. Fungsi fu`ad ( otak dan hati) yang biasa senang belajar, berfikir, merenung, berubah menjadi beban mental, kemalasan kerumitan, dan keruwetan, hali ini pun melambangkan jiwa yang mengalami ganguan.
Kita harus berusaha agar sistem mental atau ruhani ini tetap seimbang dan berjalan sesuai dengan fungsi normalnya. Mental dan ruhani dianggap menempati kondisi normal dan dalam sistem yang seimbang, bila pengelolaan dan pengendalian fungsi-fungsi jiwa sesuai dengan fitrah suci yang tertanam dalam hati nurani. Hal ini dapat dicapai, menurut Dr. Zakiah Daradjat (1985:13) “dengan keyakinan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan norma-norma sosial, hukum, moral, dan sebagainya”.
Allah swt yang menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan, Allah pula yang membimbing manusia menuju kesempurnaan. Allah menurunkan aturan yang sempurna untuk menjaga keseimbangan sistem-sistem yang ada. Untuk memelihara keseimbangan dan kesempurnaan sistem-sistem itu, kita harus kembali kepada Allah swt. yang menciptakannya. Muhammad Rasyid Ridaha (Al-Manar, I:51) “Pengelolaan, pengaturan, dan bimbingan Allah kepada manusia nampak dalam dua bentuk pengelolaan. Pertama, pengelolaan yang berkaitan dengan penciptaan, seperti pertumbuhan dan perkembangan fisik manusia beserta perkembangan kekuatan jiwa dan inteleknya. Kedua, pengelolaan melalui pendidikan disiplin syari`at yang berupa wahyu yang diberikan kepada salah seorang di antara mereka (nabi-pen.) untuk mengembangkan kesempurnaan fitrah suci mereka”. Kita harus kembali kepada kesempurnaan fitrah diri dengan kembali kepada Allah SWT. demi tercapainya pemahaman dan aktualisasi diri yang sempurna.

2. Memahami Kesiapan Potensi Belajar
Mari kita merenungkan firman Allah SWT. yang terdapat dalam al-Quran surat an-Nahl (QS.16:78), Dia berfirman : “Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Kemudian Dia menjadikan buat kamu pendengaran, penglihatan dan af`idah agar kamu bersyukur”.
Dalam tempat lain Allah swt memberikan pernyataan yang hampir sama dengan ayat di atas, namun ada perbedaan secara mencolok . Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur`an seperti pada surat 23:78, 32:9, dan 67:23. Pernyataan yang memiliki kesamaan pada ayat-ayat itu adalah bahwa Allah “menjadikan penglihatan, pendengaran, dan al-af`idah”. Perbedaan mencoloknya adalah terletak di ahir ayat. Pada satu ayat yang dikutip di atas diahiri dengan harapan “agar kalian bersyukur”, sementara pada kebanyakan ayat lainnya diahiri dengan pernyataan “sedikit sekali yang bersyukur”.
Masih terdapat satu ayat (17:36) yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, potensi berfikir dan belajar, dilengkapi dengan pertanggungjawaban. Terjemahan ayat tersebut kurang lebih sebagai berikut : “ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan fu`ad semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban”.
Sebelum menarik kesimpulan dari ayat yang dikutip di atas pada awal tulisan ini, terlebih dahulu akan di bahas makna harfiah dari sebagian yang menjadi kata kunci pada ayat tersebut. Misalnya kata ‘al-af`idah’. Al-Af`idah adalah bentuk jamak dari kata fu`ad. Menurut Thaba Thaba`i (Mizan, 12:312) berarti “hati dan otak (lubb)”. Lubb berarti otak , intelek, atau kecerdasan. Sedangkan dalam tempat lain (Mizan, 19:380) beliau mengatakan bahwa “Fu`ad adalah jiwa berfikir”. Beliau juga (Mizan,15:54) menyebutnya sebagai “prinsip berfikir manusia”. Kalau saya harus menyimpulkan, maka saya berpendapat bahwa : fu`ad adalah paduan antara hati dan intelek (kecerdasan otak) sebagai potensi berfikir manusia. Keterpaduan itu dapat dilihat dalam hubungan yang terjalin antara kerja otak dan emosi sebagai fungsi hati. Dalam al-Qur`an pun terdapat isyarat yang menyatakan qolb (hati) yang dapat memahami dan memikirkan, yang secara fisiologis merupakan kerja otak.
Bagi para filosuf, husunya filsafat ilmu, ayat ini menjadi titik pusat kontroversi tentang epistemology. Mereka berbeda pendapat tentang asal mula ilmu pengetahuan manusia. Ada yang mengatakan bahwa manusia telah memiliki berbagai pengetahuan (realitas) ketika ia masih berada di alam ide. Baginya, belajar adalah mengingat kembali pengetahuan alam ide. Ada juga yang berpandangan, bahwa manusia lahir seperti kertas putih yang masih kosong. Menurutnya, belajar adalah mengisi kertas kosong itu dengan berbagai tulisan. Ada juga toeri konvergensi yang menggabungkan keduanya. Manusia lahir dengan membawa berbagai potensi termasuk potensi untuk memahami, berfikir, dan belajar. Lingkunganlah yang berkewajiban untuk memelihara dan mengembangkan potensi-potensi tersebut. Belajar didefinisikan dengan upaya sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi-potensi manusia secara optimal.
Tinggalkan dulu perdebatan para filosuf tentang epistemology, kita kembali untuk menyimpulkan firman Allah yang dikutip di atas. Kesimpulan sementara, ada isyarat yang segera kita tangkap, bahwa manusia lahir dibekali dengan daya atau kekuatan dan kemampuan yang bersipat potensial untuk memahami, berfikir dan belajar. Daya dengar dan daya lihat merupakan simbol dari kemampuan potensial indrawi untuk menangkap segala informasi dari penomena alam. Begitu juga daya untuk memahami, berfikir, belajar, daya analisis dan berfikir intuitif merupakan symbol dari kekuatan potensial yang dimiliki fu`ad manusia.
Kembali ke persoalan semula, salah satu bukti kesempurnaan dan keistimewaan manusia adalah kepemilikan –yang dalam dunia neurology dan psikologi pendidikan disebut- otak belajar (learning brain) sebagai anugerah Tuhan yang tidak dimiliki oleh mahluk lain. Manusia disebut sebagai ‘al-Hayawan an-Nathiq’, makhluq yang dapat berfikir. Dengan kemampuan berfikir, meminjam istilah psikologi, manusia menjadi ‘unik’.
Gordon Dryden dalam bukunya The Learning Revolution (2000:112-113) mengatakan bahwa:”Anda adalah pemilik computer terhebat di dunia” , bahkan “ia beribu-ribu kali lebih hebat daripada computer terhebat di dunia. Dan ia adalah milik Anda; otak yang membuat Anda dan juga manusia lain menjadi unik”.
Glenn Domman sebagai mana dikutip Gordon Dryden (2000:116) menyatakan bahwa : “Lima kemampuan unik manusia ; mampu berjalan tegak, mampu mengatupkan jempol dan telunjuk, mampu berbicara dan menulis, mampu memahami pembicaraan, dan mampu membaca. Seluruhnya merupakan fungsi korteks otak. Jika sebuah kortek Anda rusak, Anda bisa kehilangan salah satu kemampuan di atas”. Perlu ditambahkan pula bahwa dengan kecerdasan ruhaninya, manusia mampu menangkap relitas metafisik yang non material.
Kesempurnaan dan keistimewaan manusia berpusat pada ‘fu`ad’ suatu realitas paduan antara hati dan otak, yang keduanya selain memiliki dimensi fisik, juga memiliki hubungan dimensi batin atau mental. Paling tidak, ia sebagai kanal penghubung antara yang fisik dan yang metafisik, antara badan dan jiwa. Bahkan menurut penelitian mutahir, baik psikologi maupun filsafat berpandangan adanya kesatuan antara tubuh dan jiwa.
Semua ini merupakan anugerah Alloh SWT yang harus kita syukuri, seperti di ahir ayat di jelaskan “agar kalian bersyukur”. Syeikh `Ala’uddin dalam tafsirnya (Khozin,3:28) menegaskan : “Agar kalian melakukan transformasi (perubahan) dari tidak tahu menjadi tahu. Dan agar kalian menggunakan anugerah Allah itu sebagai rasa syukur kepada-Nya”.
Islam selalu mengarahkan dengan jelas untuk memanfaatkan potensi otak ini secara proporsional. Anjuran islam untuk mencari ilmu sejak dari buaian sampai menjelang masuk liang lahat, menjadi landasan dasar dalam konsep belajar sepanjang hayat (long life education). Al-Qur`an yang berbunyi ”tidak sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui”, “Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan orang yang memiliki ilmu”, adalah dorongan dan sekaligus arahanan agar manusia dapat memanfaatkan anugerah Allah, yang salah satunya adalah otak.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang diahiri dengan kata-kata yang memberikan perintah kepada manusia agar mereka ‘berfikir’, ‘merenung’, ‘memahami’, dan ‘mengambil pelajaran’. Allah swt. sama sekali tidak akan pernah memberikan suatu beban atau perintah, kecuali terlebih dahulu dibekali dengan kemampuan-kemampuan yang memadai. Allah menyuruh manusia untuk berfikir, disertai dengan kemampuan-kemampuan potensial yang dipersiapkan untuk melakukannya.
Sangat jelas sudah, bahwa ‘pendengaran’, ‘penglihatan’ dan ‘al-af`idah’, adalah anugrah Allah sebagai potensi yang sangat memadai untuk belajar dan berfikir. Dengan ini saja sudah cukup bahwa kita diberi potensi untuk belajar, ditambah lagi dengan potensi-potensi fitri lainnya sebagai pendukung.

3. Mensyukuri Potensi Diri
Dalam kitab Madarij as-Salikin (2:247), buah karya Ibnu Qoyim Al-Juziah, Syeikh Abu Ismail al-Harawi, mengatakan bahwa : “Syukur itu sebuah nama untuk mengetahui nikmat. Dan mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat”. Ibnu Qoyim mengomentarinya, “Mengetahui nikmat merupakan fondasi (rukun) syukur”. Dalam paragraf lain beliau melanjutkan, “bahkan mengetahui nikmat merupakan pondasi yang paling utama, karena tidak mungkin ada syukur, tanpa mengetahui nikmat”. Ternyata syukur pun ada rukunnya, mirip seperti pada shalat dan ibadah-ibadah mahdhoh lainnya. Dalam kitab lain (Fath al-Majid:452) Ibnu Qoyim mengatakan “Barang siapa yang tidak mengetahui nikmat, lebih-lebih jahil atas nikmat itu, maka ia tidak akan pernah mensyukurinya”. Syeikh Abdurrahman (Fath al-Majid:65 dan 452), ketika mengomentari kitab Tauhid Abdul Wahab, yang menjadi rujukan utama kaum Wahabi di bidang tauhid, ia mengatakan :”Syukur itu tidak akan tegak, kecuali bila dibangun di atas tiga rukun (fondasi); pengakuan atas nikmat, menghubungkannya dengan Pemberi nikmat, dan menggunakan sesuai dengan tuntutan (fungsi) nikmat”.
Otak, sebagaimana organ lainnya merupaqkan anugerah Tuhan yang meniscayakan untuk disyukuri. Selain itu otak juga merupakan amanah yang sangat erat kaitannya dengan mas`uliah (pertanggung jawaban). Mas`uliah (pertanggung jawaban), berimplikasi adanya sanksi (funishmen), baik berupa pahala atau penghargaan (reward), maupun sanksi ancaman atau adzab. Firman Allah mengingatkan (17:36) “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu`ad, semuanya akan diminta pertanggungjawaban”.
“Qalilan ma Tasykurun”, sedikit sekali yang bersyukur, adalah ujung ketiga ayat yang berkaitan dengan potensi otak untuk belajar. Allah memberikan penjelasan bahwa maksud dan tujuan diberikannya potensi-potensi belajar itu “agar kamu bersyukur”. Akan tetapi dalam kenyataannya manusia sedikit sekali yang bersyukur. Dengan bahasa kita, potensi-potensi belajar itu diciptakan dan diperuntukknan bagi kamu, dengan maksud ‘agar kamu belajar’ , ternyata “sedikit sekali yang belajar”. Dalam istilah psikologi atau neurology, untuk ungkapan yang senada dengan ‘agar kamu belajar’ dan ‘sedikit sekali yang belajar’ adalah ungkapan ‘use it or loose it’ , ‘Anda pakai otak itu, atau Anda sia-siakan’.
Bila kita menggunakan otak belajar, berarti kita mensyukuri nikmat Tuhan. Kita sukses dalam menerima dan memelihara amanah, dan ahirnya kita mendapatkan rewad (pahala) berupa pengetahuan. Sebaliknya, bila kita tidak menggunakan otak belajr, berarti kita mengabaikan anugerah dan hianat atas amanat Tuhan, kita akan mendapatkan sanksi atau adzab berupa kebodohan dan keterbelakangan. Kita masih teringat atas firman Tuhan dalam al-Quran surat Ibrahim (14:7) yang membuat pernyataan bahwa :”Jika kamu bersyukur, sungguh akan Kami tambahkan (nikmat itu) kepadamu. Tetapi jika kamu mengkufuri (nikmat itu), sesungguhnya adzab Kami sangat pedih”.
Manfaatkan indra kita semaksimal mungkin untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, yang selanjutnya akan menghasilkan sain. Maksimalkan fungsi fu`ad ,dalam pengertian kecerdasan otak (akal-rasio), yang dapat mengetahui objek-objek yang abstrak untuk menghasilkan filsafat. Kemudian tajamkan fungsi fu`ad, dalam pengertian hati, yang dapat mengetahui hal-hal yang gaib yang sering disebut supralogis -dalam pengertian abstrak tetapi masih logis- untuk mendapatkan ilmu mistik. Sinergiskan kinerja ketiga ‘antena’ pengetahuan (indra, otak/akal/rasioa, dan hati) ini sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan yang berguna dan bernilai tinggi.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa mensyukuri ni`mat indra, otak, dan hati adalah dengan memanfaatkannya melalui belajar, berfikir, dan merenung. Karena indra, otak, dan hati sudah diciptakan dengan kekuatan-kekuatan tersembunyi sehingga ia siap untuk melakukannya. Bila kita belajar, berarti memenuhi perintah dan harapan Allah “agar kamu bersyukur”.
Mari kita mulai untuk belajar bersykur, melalui belajar. Perbanyaklah rasa syukur kita dengan cara memperbanyak belajar. Allah swt pasti akan memberikan tambahan nikmat-Nya berupa pengetahuan sebagai hasil belajar.